HIV
Ø
MAKARA, KESEHATAN, VOL. 13, NO.
2, DESEMBER 2009: 63-68
FAKTOR
PENCEGAHAN HIV/AIDS AKIBAT PERILAKU BERISIKO TERTULAR PADA SISWA SLTP
Ø International
Journal of HIV/AIDS and Research (IJHR) ISSN: 2379-1586
Tingginya angka HIV/AIDS, hilangnya masa produktif dari penderita
berdampak pada kehilangan usia produktif di Indonesia. Hal ini disebabkan
karena perilaku berisiko yang salah satunya terjadi dikalangan anak usia
sekolah dan merupakan kelompok rentan tertularnya HIV/AIDS. Berdasarkan
fenomena tersebut, tujuan penelitian yang dilakukan adalah menganalisis faktor
pencegahan HIV/AIDS melalui perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP. Desain
penelitian menggunakan deskriptif korelasi dan menggunakan rancangan cross
sectional. Teknik pengambilan sampel berupa purposive sampling di SLTP X
Jakarta yang memenuhi kriteria inklusif. Faktor intrinsik yang meliputi
persepsi tentang pemahaman, sikap dan pencegahan HIV/AIDS mempunyai hubungan
yang signifikan dengan perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP. Begitu pula
dengan faktor ekstrinsik (informasi diperoleh dari luar) yang meliputi
informasi orangtua, fasilitas, informasi dengan orang lain dan stigma
masyarakat mempunyai hubungan signifikan dengan perilaku berisiko tertular pada
siswa SLTP. Rekomendasi dari penelitian ini adalah peningkatan pengetahuan
melalui komunikasi, informasi dan edukasi tentang faktor pencegahan HIV/ AIDS
melalui perilaku berisiko tertular pada siswa SLTP. Hal lain adalah perlunya
peningkatan bimbingan dan konseling dari guru serta pendampingan dari orang tua
kepada anak.
Indonesia merupakan negara berkembang dengan laju pertumbuhan penduduk
sebesar 1,5% per tahun. Berdasarkan sensus penduduk yang terakhir pada tahun
2000 diperkirakan jumlah penduduk mencapai lebih dari 206 juta dan sebagian
besar penduduk Indonesia hidup di pulau Jawa (59%) khususnya DKI Jakarta. 1
Data BPS menunjukkan jumlah penduduk DKI Jakarta per Juli 2005 sebanyak 7,47
juta orang. DKI Jakarta dan Depok
merupakan daerah perkotaan yang padat penduduknya, hampir 25-37% penduduk
tinggal di daerah perkotaan. Diperkirakan pada tahun 2020 lebih dari 50% dari
penduduk akan tinggal di kota. Penyebabnya karena kemudahan memperoleh
informasi, kemudahan mencari pekerjaan, lengkapnya fasilitas dan teknologi
serta kemudahan akses pelayanan
kesehatan (hampir 140% ada di sektor perkotaan dan 39% di sektor pedesaan).
3Selain itu Indonesia juga negara yang subur dan kaya sumber daya alam namun
sebagian besar rakyat Indonesia tergolong masyarakat miskin. Menurut Oey pada tahun
1998-1999 penduduk miskin Indonesia mencapai sekitar 24% dari jumlah penduduk
atau hampir 40 juta orang. 4 Tahun 2002-2003 terjadi penurunan menjadi 16,0%
dan tahun 2004-2005 terjadi kenaikan lagi menjadi 16,7%. Sejak tahun 2006,
tingkat kemiskinan nasional meningkat menjadi 17,8% dibandingkan tahun
2002-2005.
Angka kemiskinan pada tahun 1998 antara kota dan desa berbeda 6,3% (desa
lebih tinggi dibanding kota). Tahun 2001 selisih menjadi lebih besar yaitu
15,1%. Tetapi pada tahun 2005 selisih angka kemiskinan kota dan desa mengalami
penurunan 8,1%. 4 Ketika angka kemiskinan menunjukkan tingkat terendah, justru
terjadi krisis ekonomi (moneter) pada bulan Agustus 1997.
Padatnya penduduk dan kemiskinan di daerah perkotaan serta kebutuhan ekonomi
yang makin meningkat menyebabkan banyak perempuan turut mencari nafkah terutama
menjadi pekerja seks komersial karena tidak membutuhkan keterampilan dan
uangnya mudah diperoleh. Perilaku seks bebas seperti ini jika tidak diimbangi
dengan pemahaman tentang bahaya penyakit sebagai akibat dari perilaku berisiko
ini akan menimbulkan mudahnya tertular penyakit berbahaya. Salah satunya adalah
infeksi HIV/AIDS yang sampai saat ini makin kompleks dan berada pada situasi
yang mengkhawatirkan karena jumlahnya meningkat terus khususnya di daerah
perkotaan. Peningkatan yang mengkawatirkan ini terutama jika dibandingkan
dengan jumlah pasien dengan penyakit tropis maupun penyakit kronis atau
terminal lainnya.
Prevalensi HIV/AIDS di daerah perkotaan
lebih tinggi dibandingkan daerah pedesaan. Sebagai contoh, di Zambia tahun
2001/2002 angka prevalensi penderita HIV/AIDS di daerah perkotaan berbanding
pedesaan adalah 4:3. 6 Sedangkan di Indonesia pada 31 Desember tahun 2007
jumlah penderita HIV/AIDS 11.141 kasus per 100.000 penduduk, angka kejadian
HIV?AIDS sebanyak 4,91 kasus per 100.000
penduduk. Jawa Barat memiliki jumlah kasus HIV/AIDS 1.675 kasus per 100.000
penduduk, case rate sebanyak 4,28 kasus per 100.000 penduduk.
Upaya yang dilakukan pemerintah melalui
Departemen Kesehatan RI dan lembaga-lembaga lainnya dalam mengurangi penderita
HIV/AIDS dilakukan melalui edukasi dan promosi yaitu penyuluhan melalui
kampanye, media massa, penyebaran leaflet dan kampanya penggunaan kondom.
Tetapi upaya tersebut masih saja kurang atau belum menurunkan angka HIV/AIDS.
Hal lain yang dilakukan oleh LSM adalah memberdayakan individu penderita
HIV/AIDS untuk bisa mandiri dan siap menghadapi kehidupan selanjutnya
TBC
Ø ISSN 1829 – 5118 Vol. 8 - Maret
2012 JURNAL TUBERKULOSIS INDONESIA
Ø PAGES S1–S592 ISSN 1027 3719 VOLUME
18 NUMBER 11 NOVEMBER 2014 SUPPLEMENT 1
The
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu
penyakit yang telah lama dikenal dan sampai saat ini masih menjadi penyebab
utama kematian di dunia.1 Prevalensi TB
di Indonesia dan negaranegara sedang berkembang lainnya cukup tinggi.2 Pada
tahun 2006, kasus baru di Indonesia berjumlah >600.000 dan sebagian besar
diderita oleh masyarakat yang berada dalam usia produktif (15–55 tahun). Angka
kematian karena infeksi TB berjumlah sekitar 300 orang per hari dan terjadi
>100.000 kematian per tahun.3 Hal tersebut merupakan tantangan bagi semua
pihak untuk terus berupaya mengendalikan infeksi ini. Salah satu upaya penting
untuk menekan penularan TB di masyarakat adalah dengan melakukan diagnosis dini
yang definitif. Saat ini kriteria terpenting untuk menetapkan dugaan diagnosis
TB adalah berdasarkan pewarnaan tahan asam. Walau demikian, metode ini kurang
sensitif, karena baru memberikan hasil positif bila terdapat >103
organisme/ml sputum.4 Kultur memiliki peran penting untuk menegakkan diagnosis
TB karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada
pewarnaan tahan asam.5 Kultur Lowenstein-Jensen (LJ) merupakan baku emas metode
identifikasi Mycobacterium tuberculosis, dengan sensitivitas dan spesifisitas
masing-masing 99% dan 100%,6 akan tetapi waktu yang diperlukan untuk memperoleh
hasil kultur cukup lama, yaitu sekitar 8 minggu.7 Hal ini tentu saja akan
menyebabkan keterlambatan yang bermakna untuk menegakkan diagnosis dan memulai
terapi.5 Secara umum, metode penegakan diagnosis yang banyak digunakan saat ini
adalah metode lama, sehingga diperlukan teknik diagnosis baru, yang dapat
mendiagnosis TB dengan lebih cepat dan akurat.
Ada
hubungan yang sangat bermakna antara dukungan sosial dengan kualitas hidup
penderita TB paru. Semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi kualitas
hidup. Variabel umur dan pendidikan memberikan kontribusi bermakna terhadap
kualitas hidup. Variabel lainnya, yaitu jenis kelamin, pekerjaan dan riwayat
pengobatan tidak memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup penderita TB
paru.
DBD
Ø FAKTOR RISIKO PENYAKIT DEMAM
BERDARAH DENGUE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS GUNTUNG PAYUNG KOTA BANJARBARU
(TINJAUAN TERHADAP FAKTOR MANUSIA, LINGKUNGAN, DAN KEBERADAAN JENTIK)
Ø Dengue Hemorrhagic Fever and
Natural Disaster: The Case of Padang, West Sumatra
Demam Berdarah Dengue (DBD) yang biasa disebut Dengue Haemorrahagic
Fever (DHF) merupakan salah satu dari beberapa penyakit menular yang menjadi
masalah kesehatan di dunia terutama negara yang berkembang. Berdasarkan data
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan rata-rata angka kematian akibat DBD
mencapai 15% atau 25 ribu orang meninggal setiap tahun. Di Indonesia, masalah
DBD muncul sejak tahun 1968 di Surabaya (1). Kasus DBD di Indonesia menyebar ke
berbagai daerah. Pada tahun 1980 seluruh provinsi di Indonesia telah terjangkit
DBD. Selama tahun 1996-2005 tercatat 334.685 kasus DBD dengan jumlah penderita
yang meninggal 3.092 orang. DBD menjadi masalah klasik yang kejadiannya hampir
dipastikan muncul setiap tahun terutama pada awal musim hujan (2). Indonesia yang merupakan negara tropik secara
umum mempunyai risiko terjangkit penyakit DBD, karena vektor penyebabnya yaitu
nyamuk Aedes aegypti tersebar luas di kawasan pemukiman maupun tempat-tempat
umum, kecuali wilayah yang terletak pada ketinggian lebih dari 1000 meter di
atas permukaan laut (3). Serangan penyakit DBD berimplikasi luas terhadap
kerugian material dan moral berupa biaya rumah sakit dan pengobatan pasien,
kehilangan produktivitas kerja dan yang paling fatal adalah kehilangan nyawa
(4). Di Kalimantan Selatan setiap tahunnya selalu terdapat penderita DBD. Pada
tahun 2005 terdapat kasus demam berdarah dengan Incidence Rate (IR) = 9,3/100.000 penduduk dan Case Fatality Rate
(CFR) 2,6%. Pada tahun 2006 kasus DBD meningkat dengan IR = 12,45/100.000
penduduk dan CFR 1,31%. Kasus tertinggi terjadi di kota Banjarmasin, Banjarbaru
dan Kabupaten Banjar (5). Banjarbaru merupakan daerah endemis DBD. Dari data
kasus DBD di Dinas Kesehatan Banjarbaru diketahui penderita DBD di Banjarbaru
pada tahun 2008 yaitu 53 orang penderita dan 1 orang wafat dengan jumlah
penduduk 152.719 jiwa. Angka Insident
Rate (IR) yang terjadi di kota Banjarbaru yaitu 33,7/100.000 penduduk dan Case
Fatality Rate (CFR) 1,9%. Pada tahun
2009 di kota Banjarbaru terdapat 130 kasus Penderita Demam Berdarah dengan
jumlah penderita yang meninggal dunia terbanyak di Kecamatan Guntung Payung
sebanyak 7 orang (6). Penyakit DBD dipengaruhi beberapa faktor antara lain: 1).
Kebiasaan masyarakat yang menampung air bersih untuk keperluan sehari-hari, 2)
Sanitasi lingkungan yang kurang baik, 3) Rumah pemukiman yang padat, 4)
Penyediaan air bersih yang kurang, 5) Tidak menggunakan obat nyamuk dan kelambu
pada saat tidur, 6) Pengelolaan sampah yang tidak baik 7) Musim penghujan
(Fathi, 2005). Berdasarkan model Gordon, faktor yang mempengaruhi kejadian DBD
antara lain faktor host, lingkungan (environment) dan faktor virusnya sendiri
(7-8). Berdasarkan uraian di atas perlu
dilakukan penelitian untuk menganalisa faktor risiko yang mempengaruhi kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Guntung Payung kota
Banjarbaru.
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa faktor risiko penyakit Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja
Puskesmas Guntung Payung Kota Madya Banjarbaru yaitu perilaku keluarga, faktor
lingkungan serta keberadaan larva Aedes aegypti (Container Index).
MALARIA
Ø MAKARA, KESEHATAN, VOL. 15, NO. 2,
DESEMBER 2011: 51-57 HUBUNGAN FAKTOR RISIKO INDIVIDU DAN LINGKUNGAN RUMAH
DENGAN MALARIA DI PUNDUH PEDADA KABUPATEN PESAWARAN PROVINSI LAMPUNG INDONESIA
2010
Ø International Journal of Insect
Science OrIgInAL reSeArch International Journal of Insect Science 2010:2 51 species
composition and Role of Anopheles Mosquitoes
in Malaria Transmission Along Badagry Axis of Lagos Lagoon, Lagos, nigeria
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih menjadi masalah
kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini mempengaruhi
tingginya angka kematian bayi, balita dan ibu hamil. Setiap tahun lebih dari
500 juta penduduk dunia terinfeksi malaria dan lebih dari 1 juta orang
meninggal
Kasus terbanyak terdapat di
Afrika dan beberapa negara Asia, Amerika Latin, Timur Tengah dan beberapa
bagian negara Eropa. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih berisiko
terhadap malaria. Pada tahun 2007 di Indonesia terdapat 396 Kabupaten endemis
dari 495 Kabupaten yang ada, dengan perkiraan sekitar 45% penduduk berdomisili
di daerah yang berisiko tertular malaria. Jumlah kasus pada tahun 2006 sebanyak
2 juta orang dan pada tahun 2007 menurun menjadi 1.774.845.
Kesehatan manusia sangat tergantung pada interaksi antara manusia dan
aktivitasnya dengan lingkungan fisik, kimia, serta biologi.2 Infeksi malaria
dan faktorfaktor yang mempengaruhinya di masyarakat merupakan interaksi dinamis
antara faktor host (manusia dan nyamuk), agent (parasit) dan environment.
Faktor risiko individual yang diduga berperan untuk terjadinya infeksi
malaria adalah usia, jenis kelamin, genetik, kehamilan, status gizi, aktivitas
keluar rumah pada malam hari (perilaku individu) dan faktor risiko kontekstual
adalah lingkungan perumahan, keadaan musim, sosial ekonomi, dan lain-lain.
Dalam rangka mengatasi permasalahan penyakit malaria disuatu wilayah
endemis, perlu dilakukan dengan pendekatan epidemiologis yang mencakup kondisi
lingkungan dan sosial ekonomi penduduknya.
Peningkatan kejadian malaria juga terjadi di Provinsi Lampung yang
merupakan daerah endemis malaria. Annual malaria incidence (AMI) Provinsi
Lampung 6,62‰ (2002) dan 6,92‰ (2003). Hampir semua kabupaten yang ada di Provinsi
Lampung merupakan daerah endemis malaria.6 Kabupaten Pesawaran merupakan daerah
endemis malaria yang angka kesakitan malarianya berfluktuasi dari tahun ke
tahun. AMI Kabupaten Pesawaran 13,7‰ (2003) dan 13,2‰ (2004) dengan proporsi
penderita rawat jalan di seluruh puskesmas di Kabupaten Pesawaran 3,71% (2003)
dari sepuluh penyakit terbesar yang rawat jalan ke Puskesmas.7
Saat ini belum diketahui dengan jelas
bagaimana sesungguhnya hubungan variabel pada faktor risiko individual dan
faktor risiko lingkungan perumahan terhadap terjadinya infeksi malaria di
Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
Oleh
karenanya perlu dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui hubungan
variabel pada faktor risiko individual dan faktor risiko lingkungan perumahan
terhadap terjadinya infeksi malaria di
Kecamatan Punduh Pedada Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung.
DIARE
Ø FAKTOR KEJADIAN DIARE PADA
BALITA DENGAN PENDEKATAN TEORI NOLA J.
PENDER DI IGD RSUD RUTENG Factors
Correlated With The Incidence Of
Diarrhea In Infants with Nola J.Pender Approach in Emergency Room of
RSUD Ruteng
Ø International Journal of Pharmacy
and Pharmaceutical Sciences ISSN-
0975-1491 Vol 2, Suppl 3, 2010
Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan utama pada balita di
Indonesia dan juga merupakan masalah kesehatan paling banyak terjadi pada balita yang berkunjung di IGD
Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng setiap tahun. Berbagai upaya penanganan, seperti
penyuluhan tentang kebersihan lingkungan, penyuluhan tentang pemilahan sampah
dan lain-lain yang selalu dilakukan saat jadwal posyandu serta program kerja
bakti dari dinas kesehatan terus dilakukan, namun upayaupaya tersebut masih
belum memberikan hasil yang memuaskan. Angka kematian yang tinggi akibat diare
akan berdampak negatif pada kualitas pelayanan kesehatan karena angka kematian
anak (AKA) merupakan salah satu indikator untuk menilai derajat kesehatan yang
optimal, kurang berhasilnya usaha dalam proses pencegahan diare merupakan salah
satu faktor yang harus diperhatikan karena jika upaya pencegahan tidak
ditangggulangi dengan baik, maka peningkatan penyakit diare pada balita akan
semakin meningkat (Depkes, 2010). Faktor-faktor penyebab diare akut pada balita
ini adalah faktor lingkungan, tingkat pengetahuan ibu, sosial ekonomi
masyarakat, dan makanan atau minuman yang di konsumsi (Rusepno, 2008). Menurut
penelitian Hazel ( 2013), faktor-faktor risiko terjadinya diare persisten yaitu
: bayi berusia kurang atau berat badan lahir rendah (bayi atau anak dengan
malnutrisi, anak-anak dengan gangguan
imunitas), riwayat infeksi saluran nafas, ibu berusia muda dengan pengalaman
yang terbatas dalam merawat bayi,tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu
mengenai higienis, kesehatan dan gizi, baik menyangkut ibu sendiri ataupun
bayi, pengetahuan, sikap, dan perilaku dalam pemberian ASI serta makanan
pendamping ASI, pengenalan susu non ASI/ penggunaan susu botol dan pengobatan
pada diare akut yang tidak tuntas.
Seseorang dapat menjadi sehat atau sakit akibat dari kebiasaan atau
perilaku yang dilakukannya. Kebiasaan yang tidak sehat dapat menunjang terjadinya penyakit, sedangkan
kebiasaan yang sehat dapat membantu mencegah penyakit (Soemirat, 2004). Perilaku baru terbentuk, terutama pada orang
dewasa dimulai pada domain kognitif, subjek tahu terlebih dahulu terhadap
stimulus yang berupa materi atau objek di luarnya sehinggga menimbulkan
pengetahuan baru pada subjek tersebut, dan selanjutnya menimbulkan respon batin
dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui itu, akhirnya
rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut
akan menimbulkan tindakan terhadap stimulus atau objek tersebut (Notoatmodjo,
2012). Seseorang mengabsorpsi perilaku (berperilaku baru), pada awalnya ia
harus tahu terlebih
dahulu
tahu apa arti atau manfaat perilaku tersebut bagi dirinya atau keluarganya.
Berdasarkan pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Selanjutnya dari pengetahuan tersebut menimbulkan respon batin
dalam bentuk sikap subjek terhadap objek yang diketahui itu. Menurut Beckler
dan Wiggins yang dikutip oleh Azwar (2005) sikap yang diperoleh lewat
pengalaman akan menimbulkan pengaruh langsung terhadap perilaku berikutnya.
Rangsangan yakni objek yang telah diketahui dan disadari sepenuhnya tersebut
akan menimbulkan tindakan terhadap stimulus atau objek tersebut sehingga
terbentuk suatu perilaku hidup individu (Notoatmodjo, 2012). Perilaku ibu yang
meliputi pengetahuan, sikap, dan tindakan menentukan dalam pemilihan makanan
bergizi, serta menyusun menu seimbang sesuai kebutuhan dan selera keluarga.
Sehingga pemenuhan kebutuha gizi balita tergantung pada perilaku ibu
(Popularita , 2010). Perilaku ibu dalam pemenuhan kebutuhan gizi berpengaruh
terhadap status gizi anak, status gizi yang baik dapat mencegah terjadinya
berbagai macam penyakit termasuk juga diare (Budiarti, Wahjurini, & Suryawati,
2011). Kebersihan dalam kehidupan
sehari-hari merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena
kebersihan akan mempengaruhi kesehatan seseorang. Seseorang mengalami sakit,
biasanya masalah kebersihan kurang diperhatikan, hal ini terjadi karena
menganggap bahwa masalah kebersihan diri adalah masalah sepele, padahal jika
hal tersebut dibiarkan dapat mempengaruhi kasehatan secara umum bisa
menyebabkan penyakit seperti diare (Tarwoto dan Wartonah, 2008). Kebersihan
lingkungan pada hakekatnya adalah kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum
sehingga berpengaruh positif terhadap status kesehatan yang optimum.
Ruang lingkup kebersihan lingkungan
antara lain mencakup : perumahan, pembuangan kotoran manusia (tinja),
penyediaan air bersih, pembuangan sampah, pembuangan air kotor (air limbah),
rumah hewan ternak (kandang) dan sebagainya (Anwar, 2003). Lingkungan yang
sanitasinya buruk dapat menjadi sumber berbagai penyakit yang dapat menganggu
kesehatan manusia pada akhirnya jika
kesehatan terganggu , maka kesejahteraan juga akan berkurang, upaya kebersihan lingkungan menjadi penting dalam
meningkatkan kesehatan (Setiawan, 2008). Dua faktor yang dominan yang
mempengaruhi terjadinya diare yaitu: sarana air bersih dan pembuangan tinja, kedua
faktor ini akan berinteraksi bersama dengan perilaku manusia. Apabila faktor
lingkungan tidak sehat karena tercemar kuman diare serta berakumulasi dengan
perilaku manusia yang tidak sehat pula, yaitu melalui makanan dan minuman, maka
dapat menimbulkan kejadian penyakit diare (Azwar, 2006). Tingkat pengetahuan
yang rendah tentang diare, seorang ibu cenderung kesulitan untuk melindungi dan
mencegah balitanya dari penularan diare. Pengetahuan yang rendah ini
menyebabkan masyarakat mempunyai pandangan tersendiri dan berbeda terhadap
penyakit diare. Pengetahuan yang rendah tentang diare, pencegahan dan tindakan
bila anak mengalami diare. Personal higiene atau kebersihan diri adalah upaya
seseorang dalam memelihara kebersihan dan kesehatan dirinya untuk memperoleh
kesejahteraan fisik dan psikologis (Wahit Iqbal, 2008). Kebiasaan tidak mencuci
tangan dengan sabun sesudah buang air besar merupakan kebiasaan yang dapat
membahayakan balita terutama ketika balita hendak makan.
Tugas epidemiologi penyakit menular
“rangkuman penyakit
hiv,tb,dbd,malaria dan eiare”

Oleh
Hadi
ashari
N
201 15 059
Kelas
B 2015
PROGRAM STUDI KESEHTAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
TADULAKO
2017
0 Komentar