MAKALAH
TEKNIK FERTILITAS
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS TADULAKO
2017
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Penduduk Indonesia adalah mereka yang tinggal di
Indonesia pada saat dilakukan sensus dalam kurun waktu minimal 6 bulan. Masalah
kependudukan merupakan masalah umum yang dimiliki oleh setiap negara di dunia
ini. Secara umum, masalah kependudukan di berbagai negara dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu dalam hal kuantitas/jumlah penduduk dan kualitas
penduduknya. Data tentang kualitas dan kuantitas penduduk tersebut dapat
diketahui melalui beberapa cara, diantaranya melalui metode sensus, registrasi,
dan survei penduduk.
Masalah kependudukan di
Indonesia adalah jumlah penduduk yang besar dan distribusi yang tidak merata.
Hal itu dibarengi dengan masalah lain yang lebih spesifik, yaitu angka
fertilitas dan angka mortalitas yang relatif tinggi. Kondisi ini dianggap tidak
menguntungkan dari sisi pembangunan ekonomi.. Hal itu diperkuat dengan
kenyataan bahwa kualitas penduduk masih rendah sehingga penduduk lebih
diposisikan sebagai beban daripada modal pembangunan. Logika seperti itu secara
makro digunakan sebagai landasan kebijakan untuk mengendalikan laju pertumbuhan
penduduk Secara mikro hal itu juga digunakan untuk memberikan justifikasi
mengenai pentingnya suatu keluarga melakukan pengaturan pembatasan jumlah anak.
Pada awalnya masalah
fertilitas lebih dipandang sebagai masalah kependudukan, dan treatment
terhadapnya dilakukan dalam rangka untuk mencapai sasaran kuantitatif. Hal ini
sangat jelas dari target atau sasaran di awal program keluarga berencana
dilaksanakan di Indonesia yaitu menurunkan angka kelahiran total (TFR) menjadi
separuhnya sebelum tahun 2000. Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila program
keluarga berencana di Indonesia lebih diwarnai oleh target-target kuantitatif.
Dari sisi ini tidak dapat diragukan lagi keberhasilannya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan fertilitas ?
2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas ?
3. Apa saja pengukuran fertilitas ?
4. Apa saja Ukuran-Ukuran
fertilitas ?
C. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian fertilitas.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
fertilitas
3. Mengetahui Pengukuran tahunan,Pengukuran
kumulatif dari fertilitas
4. Mengetahui
Ukuran-Ukuran fertilitas
BAB II
PEMBAHASAN
A. FERTILITAS
Fertilitas merupakan kemampuan berproduksi yang
sebenarnya dari penduduk (actual reproduction performance). Atau jumlah
kelahiran hidup yang dimiliki oleh seorang atau sekelompok perempuan. Kelahiran yang dimaksud disini hanya mencakup kelahiran hidup, jadi
bayi yang dilahirkan menunjukan tanda-tanda hidup meskipun hanya sebentar dan
terlepas dari lamanya bayi itu dikandung.
Fertilitas sebagai istilah demografi diartikan sebagai
hasil reproduksi yang nyata dari seseorang wanita atau sekelompok wanita.
Dengan kata lain fertilitas ini menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup.
Fekunditas, sebaliknya, merupakan potensi fisik untuk melahirkan anak. Jadi
merupakan lawan arti kata sterilitas. Natalitas mempunyai arti sama dengan
fertilitas hanya berbeda ruang lingkupnya. Fertilitas mencakup peranan
kelahiran pada perubahan penduduk sedangkan natalitas mencakup peranan
kelahiran pada perubahan penduduk dan reproduksi manusia.
Istilah fertilitias sering disebut dengan kelahiran
hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang wanita dengan
adanya tanda-tanda kehidupan, seperti bernapas, berteriak, bergerak, jantung
berdenyut dan lain sebagainya. Sedangkan paritas merupakan jumlah anak yang
telah dipunyai oleh wanita. Apabila waktu lahir tidak ada tanda-tanda
kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still live) yang di dalam demografi
tidak dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran
atau berpartisipasi dalam reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas. Tidak
adanya kemampuan ini disebut infekunditas, sterilitas atau infertilitas
fisiologis. Pengetahuan yang cukup dapat dipercaya mengenai
proporsi dari wanita yang tergolong subur dan tidak subur belum tersedia. Ada
petunjuk bahwa di beberapa masyarakat yang dapat dikatakan semua wanita kawin
dan ada tekanan sosial yang kuat terhadap wanita/ pasangan untuk mempunyai
anak, hanya sekiat satu atau dua persen saja dari mereka yang telah menjalani
perkawinan beberapa tahun tetapi tidak mempunyai anak. Seorang wanita dikatakan
subur jika wanita tersebut pernah melahirkan paling sedikit seorang bayi.
Pengukuran fertilitas lebih kompleks dibandingkan
dengan pengukuran mortalitas (kematian) karena seorang wanita hanya meninggal
sekali, tetapi dapat melahirkan lebih dari seorang bayi. Kompleksnya pengukuran
fertilitas ini karena kelahiran melibatkan dua orang (suami dan istri),
sedangkan kematian hanya melibatkan satu orang saja (orang yang meninggal).
Seseorang yang meninggal pada hari dan waktu tertentu, berarti mulai saat itu
orang tersebut tidak mempunyai resiko kematian lagi. Sebaliknya, seorang wanita
yang telah melahirkan seorang anak, tidak berarti resiko melahirkan dari wanita
tersebut menurun.
B.
Ukuran-Ukuran Fertilitas Tahunan
1. Tingkat Fertilitas Kasar (Crude Birth
Rate)
Tingkat fertilitas kasar adalah banyaknya kelahiran
hidup pada suatu tahun tertentu tiap 1.000 penduduk pada pertengahan tahun.
Dalam ukuran CBR, jumlah kelahiran tidak dikaitkan secara langsung dengan
penduduk wanita, melainkan dengan penduduk secara keseluruhan
Rounded Rectangle: CBR = x k
Dimana:
CBR = Tingkat Kelahiran Kasar
Pm = Penduduk pertengahan tahun
K =
Bilangan konstan yang biasanya 1.000
B = Jumlah kelahiran pada tahun tertentu
Adapun kelemahan dalam perhitungan CBR yakni tidak
memisahkan penduduk laki-laki dan penduduk perempuan yang masih kanak-kanak dan
yang berumur 50 tahun ke atas. Jadi angka yang dihasilkan sangat kasar. Sedangkan kelebihan dalam penggunaan ukuran CBR adalah
perhitungan ini sederhana, karena hanya memerlukan keterangan tentang jumlah
anak yang dilahirkan dan jumlah penduduk pada pertengahan tahun.
2. Tingkat Fertilitas Umum (General Fertility Rate)
Tingkat fertilitas
umum mengandung pengertian sebagai jumlah kelahiran (lahir hidup) per 1.000
wanita usia produktif (15-49 tahun) pada tahun tertentu. Pada tingkat
fertilitas kasar masih terlalu kasar karena membandingkan jumlah kelahiran
dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Tetapi pada tingkat fertilitas umum
ini pada penyebutnya sudah tidak menggunakan jumlah penduduk pada pertengahan
tahun lagi, tetapi jumlah penduduk wanita pertengahan tahun umur 15-49 tahun.
Rounded Rectangle: GFR = x k
Dimana:
GFR = Tingkat Fertilitas Umum
B = Jumlah kelahiran
Pf
(15-49) = Jumlah penduduk wanita umur
15-49 tahun pada pertengahan tahun
K = Bilangan konstanta yang
bernilai 1.000
Kelemahan dari penggunaan ukuran GFR adalah ukuran ini
tidak membedakan kelompok umur, sehingga wanita yang berumur 40 tahun dianggap
mempunyai resiko melahirkan yang sama besar dengan wanita yang berumur 25
tahun. Namun kelebihan dari penggunaan ukuran ini ialah ukuran ini cermat
daripada CBR karena hanya memasukkan wanita yang berumur 15-49 tahun atau
sebagai penduduk yang “exposed to risk”.
3. Tingkat Fertilitas Menurut Umur (Age Specific Fertility Rate)
Diantara kelompok
wanita reproduksi (15-49 tahun) terdapat variasi kemampuan melahirkan, karena
itu perlu dihitung tingkat fertilitas wanita pada tiap-tiap kelompok umur.
Dengan mengetahui angka-angka ini dapat pula dilakukan perbandingan fertilitas
antar penduduk dari daerah yang berbeda.
ASFRi = x k
Dimana:
ASFRi = Tingkat Fertilitas menurut Umur
Bi =
Jumlah kelahiran bayi pada kelompok umur i
Pfi =
Jumlah wanita kelompok umur i pada pertengahan tahun
k = Angka konstanta, yaitu 1.000
Berdasarkan dua kondisi di atas dapatlah disebutkan
beberapa masalah (terkait dengan SDM) sebagai berikut :
1. Jika fertilitas semakin meningkat maka akan menjadi
beban pemerintah dalam hal penyediaan aspek fisik misalnya fasilitas kesehatan
ketimbang aspek intelektual.
2. Fertilitas meningkat maka pertumbuhan penduduk akan
semakin meningkat tinggi akibatnya bagi suatu negara berkembang akan menunjukan
korelasi negatif dengan tingkat kesejahteraan penduduknya.
3.
Jika ASFR 20-24 terus meningkat maka akan berdampak kepada investasi SDM
yang semakin menurun.
Adapun
kelebihan dari penggunaan ukuran ASFR antara lain :
1. Ukuran
lebih cermat dari GFR karena sudah membagi penduduk yang “exposed to
risk”
ke dalam berbagai kelompok umur.2. Dengan ASFR dimungkinkan pembuatan analisa perbedaan
fertilitas (current fertility) menurut berbagai karakteristik wanita.
2. Dengan
ASFR dimungkinkan dilakukannya studi fertilitas menurut kohor.
3. ASFR ini merupakan dasar untuk perhitungan ukuran
fertilitas dan reproduksi selanjutnya (TFR, GRR, dan NRR).
Namun dalam pengukuran ASFR
masih terdapat beberapa kelemahan diantaranya yaitu:
a. Ukuran ini membutuhkan data yang terperinci yaitu
banyaknya kelahiran untuk tiap kelompok umur sedangkan data tersebut belum
tentu ada di tiap negara/daerah, terutama negara yang sedang berkembang. Jadi
pada kenyataannya sukar sekali mendapatkan ukuran ASFR.
b. Tidak
menunjukkan ukuran fertilitas untuk keseluruhan wanita umur 15-49 tahun.
4. Tingkat Fertilitas menurut Urutan Kelahiran (Birth Order Specific
Fertility Rate)
Tingkat fertilitas
menurut urutan kelahiran sangat penting untuk mengukur tinggi rendahnya
fertilitas suatu negara. Kemungkinan seorang istri menambah kelahiran
tergantung pada jumlah anak yang telah dilahirkannya. Seorang istri mungkin
menggunakan alat kontrasepsi setelah mempunyai jumlah anak tertentu dan juga
umur anak yang masih hidup.
C.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Dan Menentukan
Fertilitas
Ada beragam
faktor yang mempengaruhi dan menentukan fertilitas baik yang berupa faktor
demografi maupun faktor non-demografi. Yang berupa faktor demografi diantaranya
adalah struktur umur, umur perkawinan, lama perkawinan, paritas, distrupsi
perkawinan dan proporsi yang kawin sedangkan faktor non-demografi dapat berupa
faktor sosial, ekonomi maupun psikologi.
1. Teori Sosiologi tentang Fertilitas (Davis dan Blake:
Variabel Antara)
Kajian tentang fertilitas pada dasarnya bermula dari
disiplin sosiologi. Sebelum disiplin lain membahas secara sistematis tentang
fertilitas, kajian sosiologis tentang fertilitas sudah lebih dahulu dimulai.
Sudah amat lama kependudukan menjadi salah satu sub-bidang sosiologi. Sebagian
besar analisa kependudukan (selain demografi formal) sesungguhnya merupakan
analisis sosiologis. Davis and Blake (1956), Freedman (1962), Hawthorne (1970)
telah mengembangkan berbagai kerangka teoritis tentang perilaku fertilitas yang
pada hakekatnya bersifat sosiologis.
Dalam tulisannya yang berjudul “The
Social structure and fertility: an analytic framework (1956)”2 Kingsley Davis
dan Judith Blake melakukan analisis sosiologis tentang fertilitas. Davis and
Blake mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas melalui apa yang
disebut sebagai “variabel antara” (intermediate variables).
Menurut Davis dan Blake faktor-faktor
sosial, ekonomi dan budaya yang mempengaruhi fertilitas akan melalui “variabel
antara”. Ada 11 variabel antara yang mempengaruhi fertilitas, yang
masing-masing dikelompokkan dalam tiga tahap proses reproduksi sebagai berikut:
·
Intermediate
Variables Of Fertility
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya hubungan
kelamin (intercouse variables) adalah
a.
Faktor-faktor
yang mengatur tidak terjadinya hubungan kelamin:
1. Umur
mulai hubungan kelamin
2. Selibat permanen: proporsi wanita
yang tidak pernah mengadakan hubungan kelamin
3. Lamanya masa
reproduksi sesudah atau diantara masa hubangan kelamin:
a) Bila kehidupan suami istri cerai atau pisah
b) Bila kehidupan suami istri nerakhir karena suami
meninggal dunia
b.
Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin
1. Abstinensi sukarela
2. Berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit,
pisah sementara)
3. Frekuensi hubungan seksual
c.
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi (conception
variables):
1. Kesuburan
atau kemandulan yang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disengaja
2. Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi:
a) Menggunakan cara-cara mekanik dan bahan-bahan kimia
b)Menggunakan cara-cara lain
3. Kesuburan atau kemandulan yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang disengaja (sterilisasi, subinsisi, obat-obatan dan sebagainya)
d.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kehamilan dan kelahiran (gestation
variables)
1. Mortalitas janin yang disebabkan oleh faktor-faktor
yang tidak disengaja
2. Mortalitas janin oleh faktor-faktor yang disengaja
Menurut
Davis dan Blake, setiap variabel diatas terdapat pada semua masyarakat.Sebab
masing-masing variabel memiliki pengaruh (nilai) positif dan negatifnya sendiri-sendiri
terhadap fertilitas. Misalnya, jika pengguguran tidak dipraktekan maka variabel
nomor 11 tersebut bernilai positif terhadap fertilitas. Artinya, fertilitas
dapat meningkat karena tidak ada pengguguran. Dengan demikian ketidak-adaan
variabel tersebut juga suatu masyarakat masing-masing variabel bernilai negatif
atau positif maka angka kelahiran yang sebenarnya tergantung kepada neraca
netto dari nilai semua variabel.
2. Ronald Freedman: Variabel Antara dan Norma Sosial
Menurut Freedman
variabel antara yang mempengaruhi langsung terhadap fertilitas pada dasarnya
juga dipengaruhi oleh norma-norma yang berlaku di suatu masyarakat. Pada
akhirnya perilaku fertilitas seseorang dipengaruhi norma-norma yang ada yaitu
norma tentang besarnya keluarga dan norma tentang variabel antara itu sendiri.
Selanjutnya norma-norma tentang besarnya keluarga dan variabel antara di
pengaruhi oleh tingkat mortalitas dan struktur sosial ekonomi yang ada di
masyarakat.
Menurut
Freedman intermediate variables yang dikemukakan Davis-Blake menjadi variabel
antara yang menghubungkan antara “norma-norma fertilitas” yang sudah mapan
diterima masyarakat dengan jumlah anak yang dimiliki (outcome). Ia mengemukakan
bahwa “norma fertilitas” yang sudah mapan diterima oleh masyarakat dapat sesuai
dengan fertilitas yang dinginkan seseorang. Selain itu, norma sosial dianggap
sebagai faktor yang dominan. Secara umum Freedman mengatakan bahwa:
“Salah satu prinsip dasar
sosiologi adalah bahwa bila para anggota suatu masyarakat menghadapi suatu
masalah umum yang timbul berkali-kali dan membawa konsekuensi sosial yang
penting, mereka cenderung menciptakan suatu cara penyelesaian normatif terhadap
masalah tersebut. Cara penyelesaian ini merupakan serangkaian aturan tentang
bertingkah laku dalam suatu situasi tertentu, menjadi sebagian dari
kebudayaannya dan masyarakat mengindoktrinasikan kepada para anggotanya untuk
menyesuaikan diri dengan norma tersebut baik melalui ganjaran (rewards) maupun
hukuman (penalty) yang implisit dan eksplisit. Karena jumlah anak yang akan dimiliki oleh sepasang
suami isteri itu merupakan masalah yang sangat universal dan penting bagi
setiap masyarakat, maka akan terdapat suatu penyimpangan sosiologis apabila
tidak diciptakan budaya penyelesaian yang normatif untuk mengatasi masalah ini”.
Jadi norma merupakan “resep” untuk membimbing
serangkaian tingkah laku tertentu pada berbagai situasi yang sama. Norma
merupakan unsur kunci dalam teori sosiologi tentang fertilitas. Dalam
artikelnya yang berjudul “Theories of fertility decline: a reappraisal” (1979).Freedman
juga mengemukakan bahwa tingkat fertilitas yang cenderung terus menurun di
beberapa negara pada dasarnya bukan semata-mata akibat variabel-variabel
pembangunan makro seperti urbanisasi dan industrialisasi sebagaimana
dikemukakan oleh model transisi demografi klasik tetapi berubahnya motivasi
fertilitas akibat bertambahnya penduduk yang melek huruf serta berkembangnya
jaringan-jaringan komunikasi dan transportasi.
Menurut Freedman, tingginya tingkat modernisasi tipe
Barat bukan merupakan syarat yang penting terjadinya penurunan fertilitas.
Pernyataan yang paling ekstrim dari suatu teori sosiologi tentang fertilitas
sudah dikemukakan oleh Judith Blake. Ia berpendapat bahwa “masalah ekonomi
adalah masalah sekunder bukan masalah normatif”; jika kaum miskin mempunyai
anak lebih banyak daripada kaum kaya, hal ini disebabkan karena kaum miskin
lebih kuat dipengaruhi oleh norma-norma pro-natalis daripada kaum kaya.
3. Teori Ekonomi
tentang Fertilitas
Pandangan bahwa faktor-faktor ekonomi mempunyai
pengaruh yang kuat terhadap fertilitas bukanlah suatu hal yang baru. Dasar
pemikiran utama dari teori ‘transisi demografis’ yang sudah terkenal luas
adalah bahwa sejalan dengan diadakannya pembangunan sosial-ekonomi, maka fertilitas
lebih merupakan suatu proses ekonomis dari pada proses biologis.
Berbagai metode
pengendalian fertilitas seperti penundaan perkawinan, senggama terputus dan
kontrasepsi dapat digunakan oleh pasangan suami istri yang tidak menginginkan
mempunyai keluarga besar, dengan anggapan bahwa mempunyai banyak anak berarti
memikul beban ekonomis dan menghambat peningkatan kesejahteraan sosial dan
material. Bahkan sejak awal pertengahan abad ini, sudah diterima secara umum
bahwa hal inilah yang menyebabkan penurunan fertilitas di Eropa Barat dan Utara
dalam abad 19. Leibenstein dapat dikatakan sebagai peletak dasar dari apa yang
dikenal dengan “teori ekonomi tentang fertilitas”. Menurut Leibenstein tujuan
teori ekonomi fertilitas adalah:
“untuk merumuskan suatu teori yang menjelaskan
faktor-faktor yang menentukan jumlah kelahiran anak yang dinginkan per
keluarga. Tentunya, besarnya juga tergantung pada berapa banyak kelahiran yang
dapat bertahan hidup (survive). Tekanan yang utama adalah bahwa cara bertingkah
laku itu sesuai dengan yang dikehendaki apabila orang melaksanakan
perhitungan-perhitungan kasar mengenai jumlah kelahiran anak yang dinginkannya.
Dan perhitungan perhitungan yang demikian ini tergantung pada keseimbangan
antara kepuasan atau kegunaan (utility) yang diperoleh dari biaya tambahan
kelahiran anak, baik berupa uang maupun psikis. Ada tiga macam tipe kegunaan
yaitu :
(a). Kegunaan yang diperoleh dari anak sebagai suatu ‘barang
konsumsi’ misalnya sebagai sumber
hiburan bagi orang tua;
(b). Kegunaan
yang diperoleh dari anak sebagai suatu sarana produksi, yakni, dalam beberapa
hal tertentu anak diharapkan untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan
menambah pendapatan keluarga; dan
(c). Kegunaan yang diperoleh dari
anak sebagai sumber ketentraman, baik pada hari tua maupun sebaliknya”. Menurut Leibenstein anak dilihat dari dua aspek yaitu
aspek kegunaannya (utility) dan aspek biaya (cost). Kegunaannya adalah
memberikan kepuasaan, dapat memberikan balas jasa ekonomi atau membantu dalam
kegiatan berproduksi serta merupakan sumber yang dapat menghidupi orang tua di
masa depan. Sedangkan pengeluaran untuk membesarkan anak adalah biaya dari
mempunyai anak tersebut. Biaya memiliki tambahan seoarang anak dapat dibedakan
atas biaya langsung dan biaya tidak langsung. Yang dimaksud biaya langsung
adalah biaya yang dikeluarkan dalam memelihara anak seperti memenuhi kebutuhan
sandang dan pangan anak sampai ia dapat berdiri sendiri. Yang dimaksud biaya
tidak langsung adalah kesempatan yang hilang karena adanya tambahan seoarang
anak. Misalnya, seorang ibu tidak dapat bekerja lagi karena harus merawat anak,
kehilangan penghasilan selama masa hamil, atau berkurangnya mobilitas orang tua
yang mempunyai tanggungan keluarga besar (Leibenstein, 1958).
Menurut Leibenstein, apabila ada kenaikan pendapatan
maka aspirasi orang tua akan berubah. Orang tua menginginkan anak dengan
kualitas yang baik. Ini berarti biayanya naik. Pengembangan lebih lanjut
tentang ekonomi fertiitas dilakukan oleh Gary S. Becker dengan artikelnya yang
cukup terkenal yaitu “An Economic Analysis of Fertility”.
Menurut Becker anak dari sisi ekonomi pada dasarnya
dapat dianggap sebagai barang konsumsi (a consumption good, consumer’s durable)
yang memberikan suatu kepuasan (utility). Tertentu
bagi orang tua. Bagi banyak orang tua, anak merupakan sumber pendapatan dan
kepuasan (satisfaction). Secara ekonomi fertilitas dipengaruhi oleh pendapatan
keluarga, biaya memiliki anak dan selera. Meningkatnya pendapatan (income)
dapat meningkatkan permintaan terhadap anak.
Dalam analisis ekonomi fertilitas dibahas mengapa
permintaan akan anak berkurang bila pendapatan meningkat; yakni apa yang
menyebabkan harga pelayanan anak berkaitan dengan pelayanan komoditi lainnya
meningkat jika pendapatan meningkat?
New household economics berpendapat bahwa :
(a). Orang tua mulai lebih
menyukai anak-anak yang berkualitas lebih tinggi dalam jumlah yang hanya
sedikit sehingga “harga beli “meningkat”.
(b). Bila pendapatan dan pendidikan meningkat maka semakin banyak waktu (khususnya
waktu ibu) yang digunakan untuk merawat anak. Jadi anak menjadi lebih mahal.
Di dalam setiap kasus, semua pendekatan ekonomi
melihat fertilitas sebagai hasil dari suatu keputusan rasional yang didasarkan
atas usaha untuk memaksimalkan fungsi utility ekonomis yang cukup rumit yang
tergantung pada biaya langsung dan tidak langsung, keterbatasan sumberdaya,
selera. Topik-topik yang dibahas dalam ekonomi fertilitas antara berkaitan
dengan pilihan-pilihan ekonomi seseorang dalam menentukan fertilitas (jumlah
dan kualitas anak). Pertimbangan ekonomi dalam menentukan fertilitas terkait
dengan income, biaya (langsung maupun tidak langsung), selera, modernisasi dan
sebagainya.
Sejalan dengan apa yang telah dikemukakan Becker,
Bulato menulis tentang konsep demand for children and supply of children.
Konsep demand for children dan supply of children dikemukakan dalam kaitan
menganalisis economic determinan factors dari fertilitas. Bulatao mengartikan
konsep demand for children sebagai jumlah anak yang dinginkan. Termasuk dalam
pengertian jumlah adalah jenis kelamin anak, kualitas, waktu memliki anak dan
Konsep demand for children diukur melalui pertanyaan survey tentang “jumlah
keluarga yang ideal atau diharapkan sebagainya. Atau diinginkan”. Pertanyaannya, apakah konsep demand for children
berlaku di negara berkembang. Apakah pasangan di negara berkembang dapat
memformulasikan jumlah anak yang dinginkan? Menurut Bulato, jika pasangan tidak
dapat memformulasikan jumlah anak yang dinginkan secara tegas maka digunakan
konsep latent demand dimana jumlah anak yang dinginkan akan disebut oleh
pasangan ketika mereka ditanya.
Analisis ekonomi tentang fertilitas juga dikemukakan
oleh Richard A. Easterlin. Menurut Easterlin permintaan akan anak sebagian
ditentukan oleh karakteristik latar belakang individu seperti agama,
pendidikan, tempat tinggal, jenis/tipe keluarga dan sebagainya. Setiap keluarga
mempunyai norma-norma dan sikap fertilitas yang dilatarbelakangi oleh
karakteristik diatas. Easterlin juga mengemukakan perlunya menambah seperangkat
determinan ketiga (disamping dua determinan lainnya: permintaan anak dan biaya
regulasi fertilitas) yaitu mengenai pembentukan kemampuan potensial dari anak.
Hal ini pada gilirannya tergantung pada fertilitas alami (natural fertility)
dan kemungkinan seorang bayi dapat tetap hidup hingga dewasa.
Fertilitas alami sebagian tergantung pada
faktor-faktor fisiologis atau biologis, dan sebagian lainnya tergantung pada
praktek-praktek budaya. Apabila pendapatan meningkat maka terjadilah perubahan
“suplai” anak karena perbaikan gizi, kesehatan dan faktor-faktor biologis
lainnya. Demikian pula perubahan permintaan disebabkan oleh perubahan
pendapatan, harga dan “selera”. Pada suatu saat tertentu, kemampuan suplai dalam
suatu masyarakat bisa melebihi permintaan atau sebaliknya. Easterlin berpendapat bahwa bagi negara-negara berpendapatan rendah
permintaan mungkin bisa sangat tinggi tetapi suplainya rendah, karena terdapat
pengekangan biologis terhadap kesuburan. Hal ini menimbulkan suatu permintaan “berlebihan”
(excess demand) dan juga menimbulkan sejumlah besar orang yang benar-benar
tidak menjalankan praktek-praktek pembatasan keluarga. Dipihak lain, pada tingkat pendapatan yang tinggi, permintaan adalah rendah
sedangkan kemampuan suplainya tinggi, maka akan menimbulkan suplai “berlebihan”
(over supply) dan meluasnya praktek keluarga berencana. John C. Caldwell juga
melakukan analisis fertilitas dengan pendekatan ekonomi sosiologis.
Tesis fundamentalnya adalah bahwa tingkah laku
fertilitas dalam masyarakat pra-tradisional dan pasca-transisional itu dilihat
dari segi ekonomi bersifat rasional dalam kaitannya dengan tujuan ekonomi yang
telah ditetapkan dalam masyarakat, dan dalam arti luas dipengaruhi juga oleh
faktor-faktor biologis dan psikologis.
Teori Caldwell menekankan pada pentingnya peranan
keluarga dalam arus kekayaan netto (net wealth flows) antar generasi dan juga
perbedaan yang tajam pada regim demografis pra-transisi dan pasca-transisi.
Caldwell mengatakan bahwa “sifat hubungan ekonomi dalam keluarga” menentukan
kestabilan atau ketidak-stabilan penduduk. Jadi pendekatannya lebih menekankan
pada dikenakannya tingkah laku fertilitas terhadap individu (atau keluarga
inti) oleh suatu kelompok keluarga yang lebih besar (bahkan yang tidak
sedaerah) dari pada oleh “norma-norma” yang sudah diterima masyarakat. Seperti
diamati oleh Caldwell, didalam keluarga selalu terdapat tingkat eksploitasi
yang besar oleh suatu kelompok (atau generasi) terhadap kelompok atau generasi
lainnya, sehingga jarang dilakukan usaha pemaksimalan manfaat individu. Selain
teori yang disajikan dalam tulisan ini masih banyak teori lain yang membahas
fertilitas. Namun karena keterbatasan tempat tidak semua teori fertilitas dapat
disajikan dalam tulisan ini.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Fertilitas merupakan kemampuan berproduksi yang
sebenarnya dari penduduk (actual reproduction performance). Atau jumlah
kelahiran hidup yang dimiliki oleh seorang atau sekelompok perempuan. Kelahiran
yang dimaksud disini hanya mencakup kelahiran hidup, jadi bayi yang dilahirkan
menunjukan tanda-tanda hidup meskipun hanya sebentar dan terlepas dari lamanya
bayi itu dikandung, Istilah fertilitias sering disebut
dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang
wanita dengan adanya tanda-tanda kehidupan, seperti bernapas, berteriak,
bergerak, jantung berdenyut dan lain sebagainya. Sedangkan paritas merupakan
jumlah anak yang telah dipunyai oleh wanita. Apabila waktu lahir tidak ada
tanda-tanda kehidupan, maka disebut dengan lahir mati (still live) yang di
dalam demografi tidak dianggap sebagai suatu peristiwa kelahiran.
Menurut
PBB dan WHO, kematian adalah hilangnya semua tanda-tanda kehidupan secara
permanen yang bisa terjadi setiap saat setelah kelahiran hidup. Still birth dan
keguguran tidak termasuk dalam pengertian kematian. Perubahan jumlah kematian
(naik turunnya) di tiap daerah tidaklah sama, tergantung pada berbagai macam
faktor keadaan. Besar kecilnya tingkat kematian ini dapat merupakan petunjuk
atau indikator bagi tingkat kesehatan dan tingkat kehidupan penduduk di suatu
wilayah. Faktor-faktor yang mengatur terjadinya hubungan kelamin yaitu abstinensi sukarela, berpantang karena terpaksa (oleh impotensi, sakit, pisah sementara), frekuensi hubungan seksual dan ada pula Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya konsepsi
(conception variables) yaitu kesuburan atau kemandulan yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak disengaja dan Menggunakan atau tidak menggunakan metode kontrasepsi.
Kemampuan fisiologis wanita untuk memberikan kelahiran
atau berpartisipasi dalam reproduksi dikenal dengan istilah fekunditas. Tidak
adanya kemampuan ini disebut infekunditas, sterilitas atau infertilitas fisiologis. Pengetahuan yang cukup dapat dipercaya mengenai proporsi dari wanita
yang tergolong subur dan tidak subur belum tersedia. Ada petunjuk bahwa di
beberapa masyarakat yang dapat dikatakan semua wanita kawin dan ada tekanan
sosial yang kuat terhadap wanita/ pasangan untuk mempunyai anak, hanya sekiat
satu atau dua persen saja dari mereka yang telah menjalani perkawinan beberapa
tahun tetapi tidak mempunyai anak. Seorang wanita dikatakan subur jika wanita
tersebut pernah melahirkan paling sedikit seorang bayi.
DAFTAR PUSTAKA
Baguoes
Mantra,Ida.2010.Demografi Umum.Pustaka Pelajar,Jakarta
Doda, Johosua.1989.
Pendidikan kependudukan dan lingkungan Hidup.P2LPTK,Jakarta
Rusli,Said.1983. Pengantar
ilmu Kependudukan, LP3eS, Jakarta
Munir, Rozy.1981. dasar-dasar
demografi. LEMBAGA Demografi FE UI, Jakarta.
http://www.edukasi.net/index.php?mod=script&cmd=Bahan%20Belajar/Materi%20Pokok/view&id=80&uniq=892.
Diakses pada tanggal 12 Mei 2012. Pukul 10.00 WIB.
http://rahma-kurnia.blogspot.com/2006/09/kematian-mortalitas.html.
Posted by Rahma Kurnia @ 4:24 PM. Diakses pada tanggal 12 Mei 2012. Pukul 10.00
WIB.
0 Komentar