Iklan atas - New

sistem kesehatan di Indonesia



  sistem kesehatan di Indonesia sangat jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat

Laporan WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa kontribusi pemerintah, dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, untuk belanja kesehatan selama tahun 1999-2003 berkisar antara 28,1% - 35,9% sementara kontribusi pemerintah Muangtai pada kurn waktu yang sama berkisar antara 54,8% - 61,6% dari belanja kesehatan rakyatnya. Di berbagai negara maju, pembiayaan kesehatan  bersumber dana publik mengambil porsi yang lebih besar. Di Inggris, Prancis, Australia, dan Taiwan pembiayaan publik untuk pelayanan kesehatan mencapai lebih dari 80% dari biaya kesehatan total. Di Indonesia sebaliknya, lebih dari 70% biaya kesehatan harus ditanggung sendiri oleh tiap keluarga  (out of pocket  -OOP) yang sangat bersifat regresif. Penelitian Thabrany, dkk (2000), menunjukkan bahwa 10% rumah tangga  termiskin harus menghabiskan 230% penghasilannya sebulan untuk membiayai sekali rawat inap anggota keluarganya. Sementara keluarga 10% terkaya hanya menghabiskan 120% penghasilan keluarga sebulan untuk membiayai satu kali rawat inap anggota keluarganya. Akibatnya akses terhadap pelayanan rumah sakit menjadi sangat tidak adil, karena penduduk miskin tidak mampu membiayi perawatan. Penelitian yang dilakukan Thabrany dan Pujiyanto (2000) menunjukkan bahwa penduduk 10% terkaya mempunyai akses rawat inap di rumah sakit yang 12 kali lebih besar dari penduduk 10% termiskin.  
Sampai saat ini, jelas sekali bahwa sistem kesehatan di Indonesia sangat jauh dari cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Rakyat kecil sangat terbebani dengan sistem kesehatan yang diperdagangkan. Rakyat yang membayar lebih banyak mendapat pelayanan yang lebih banyak atau lebih baik mutunya, you get what you pay for. Di bulan Februari 2005, Televisi 7 menayangkan program realita dimana seorang bayi anak petugas kebersihan Universitas Indonesia terpaksa meninggal dunia karena tidak punya uang. Bayinya yang menderita radang paru-paru tidak  dapat dirawat di RS Pasar Rebo, milik Pemda DKI yang baru saja diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT, yang tentu saja berorientasi dagang–cari untung dari rakyat yang sakit), karena tidak punya uang muka. Pemda DKI juga tidak bisa menggunakan dana  jaminan kesehatan bagi penduduk miskin, karena orang tua pasien bukan penduduk DKI. Jika saja ada dana dan program Askeskin sudah berjalan, maka nyawa si bayi hampir pasti dapat diselematkan. Puluhan ribu rakyat meninggal di Indonesia, yang mengaku Pancasilais, hanya kerana keluarga mereka tidak memiliki uang. Di negeri kapitalis sekalipun, hal  itu tidak boleh terjadi. Mahlil Rubi (2007), dalam disertasinya menemukan bahwa 83% rumah tangga mengalami pembayaran katastropik ketika satu anggota rumah tangga membutuhkan rawat inap. Artinya, sebuah rumah tangga akan jatuh miskin (sadikin, sakit sedikit jadi miskin), karena harus berhutang atau menjual harta benda untuk biaya berobat di RS, bahkan di rumah sakit publik. Padahal, di seluruh dunia, prinsip keadilan yang merata (setara) atau equity yang digunakan adalah equity egalitarian, yang pada prinsipnya menjamin bahwa setiap penduduk mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya (you get what you need), dan bukan sesuai kemampuannya membayar.
Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan (inequity, ketidak-pendanaan publik, baik melalui APBN (tax funded) maupun melalui sistem asuransi kesehatan sosial.  Sayangnya, seperti disampaikan dimuka, pendanaan kesehatan bersumber pemerintah sangat kecil dan cakupan asuransi kesehatan yang sustainable di Indonesia masih sangat rendah yaitu berkisar pada 9% penduduk tidak mengalami kenaikan berarti sejak tahun tahun 70an
Kini alhamdulillah program Askeskin sudah mulai berjalan yang meningkatkan cakupan jaminan kesehatan menjadi lebih dari 40% penduduk. Walaupun di tahun 2008 terjadi perubahan program Askeskin menjadi Jamkesnas dan polemik yang dimunculkan mengesankan ada salah urus dalam program Askeskin, faktanya sampai hari ini belum ada bukti salah urus. Hal ini akan segera dapat dibuktikan. Padahal pada tahun 2003 hampir 100% penduduk (kecuali yang tinggal di luar negeri atau didusun sangat terpencil). Rendahnya pendanaan kesehatan dan cakupan asuransi keseahatan sosial di Indonesia sangat dipengaruhi oleh ketidak-tahuan dan ketidak-pedulian pemerintah dalam melindungi penduduknya dari proses pemiskinan karena mahalnya biaya kesehatan.
Rakyat Indonesia boleh iri dengan rakyat di negara tetangga. Di Sri Lanka yang juga negara berkembang, bahkan tergolong miskin, pelayanan kesehatan dan pendidikan disediakan gratis kepada semua penduduknya. Penduduk Muangtai juga tidak perlu pusing memikirkan biaya perawatan di rumah sakit. Para pegawai mendapatkan jaminan kesehatan melalui program pemerintah atau jaminan sosial. Penduduk lain seperti nelayan dan petani, tanpa memandang mereka miskin atau kaya, tidak lagi membayar jika dirawat di rumah sakit. Penduduk Muangtai terbebas dari rasa takut dan tidak perlu ngebon kepada majikan jika istrinya melahirkan atau anaknya masuk rumah sakit. Di Malaysia, penduduk juga boleh tenang berfikir dan berkonsentrasi belajar dan bekerja. Jika mereka perlu rawat inap, maka tarifnya hanya RM 3 (sekitar Rp 6.000) sehari, termasuk segalanya; meskipun mereka harus masuk ICU atau menjalani operasi yang mahal. Bahkan penduduk Malaysia tidak perlu khawatir jika mereka harus menjalani operasi jantung, yang di Indonesia dapat menghabiskan lebih dari Rp 150 juta, di RS Pemerintah!!  Di Malaysia, pemerintah sudah menjaminnya. Indikator kesehatan dan pendidikan menunjukkan bahwa orang Sri Lanka, Muangtai, dan Malaysia jauh lebih sehat, lebih pintar dan lebih jarang korup dibanding orang Indonesia. Mengapa? Ya, mereka bisa berkonsentrasi untuk belajar dan bekerja, tanpa harus sibuk cari pinjaman, korupsi, atau kasak-kusuk mengembangkan pungli untuk
menutupi biaya pendidikan atau berobat di rumah sakit.

Posting Komentar

0 Komentar