Dokumen
Sustainable Development Goals (SDGs)
akan menjadi acuan dalam perundingan negara-negara dunia untuk melanjutkan
pembangunan pasca Millenium Development
Goals (MDGs) yang sudah mencapai tahap akhir di tahun 2015. SDGs ini tidak
terpisah dari pencapaian MDGs, namun merupakan bentuk penyempurnaan dari MDGs.
SDGs dicanangkan untuk melanjutkan tujuan utama MDGs yang belum tercapai, salah
satunya masalah kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Prioritas kedepan
dalam mewujudkan kesetaraan gender meliputi, peningkatan kualitas hidup dan
peran perempuan dalam pembangunan, peningkatan kapasitas kelembagaan Pengarusutamaan Gender (PUG) dan pemberdayaan perempuan,
serta perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan. Salah satu bentuk
kekerasan yang dialami perempuan adalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sejauh
ini KDRT merupakan salah satu isu kesehatan masyarakat secara global (Ramadani dan Yuliani, 2018).
Kekerasan
dalam rumah tangga menurut undang-undang PKDRT No. 23 Tahun 2004 adalah setiap
perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan permasalahan yang telah mengakar sangat
dalam dan terjadi di seluruh negara di dunia. KDRT di Amerika merupakan bahaya
terbesar bagi perempuan dibandingkan bahaya perampokan dan pencurian. Data
statistik di Amerika menunjukkan setiap 9 menit perempuan menjadi korban kekerasan
fisik, dan 25% perempuan yang terbunuh oleh pasangan laki-lakinya (Ramadani dan Yuliani, 2018).
Kekerasan
terhadap perempuan adalah suatu hal yang menjadi fenomena dalam kehidupan
perempuan yang sudah berlangsung sejak lama. Diskriminasi terhadap perempuan
sampai saat ini masih terjadi baik di kalangan rumah tangga, pendidikan,
politik, sosial budaya, ekonomi, keamanan. Kasus kekerasan suami terhadap
perempuan tidak saja terjadi dalam rumah tangga bagi perempuan yang memiliki
pendidikan rendah, akan tetapi juga terjadi ditempat kerja dan perempuan yang
memiliki pendidikan tinggi (Yenti
dan Maisah, 2016).
Laporan World Health
Organization (WHO) tahun
2008 mengenai “Violence and Health” (Kekerasan dan Kesehatan) menunjukkan kualitas
kesehatan perempuan menurun drastis akibat kekerasan yang dialaminya. Hal
tersebut dibuktikan bahwa antara 40-70 % perempuan yang meninggal karena
pembunuhan, umumnya dilakukan oleh mantan atau pasangannya sendiri. Studi yang dilakukan WHO di 10 negara
menunjukkan 15-71 % wanita mengalami kekerasan fisik atau seksual yang
dilakukan oleh suami atau pasangannya (Nurrachmawati, 2012).
Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri
dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun
2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT. Komisi Nasional
(Komnas) Perempuan mencatat sebanyak 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan
terjadi di Indonesia baik yang dilaporkan maupun ditangani sepanjang tahun
2017. Sebanyak
335.062 kasus tersebut bersumber pada data kasus yang ditangani oleh Pengadilan
Agama (PA), 13.384 kasus ditangani oleh 237 lembaga mitra pengadaan layanan
yang tersebar di 34 provinsi. Sementara
angka kekerasan terhadap istri, menempati peringkat pertama yakni 5.167 kasus. Selain itu, kekerasan dalam pacaran, disusul kasus
kekerasan terhadap anak yaitu 1.873 kasus (Komnas
Perempuan, 2018).
Data
tahun 2007 Mitra Perempuan Women’s Crisis
Center (WCC) mencatat 87 % dari perempuan korban kekerasan yang mengakses
layanannya mengalami KDRT, dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dan
mantan suaminya (82,75%). Fakta tersebut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan
korban kekerasan yang didampingi WCC mengalami gangguan kesehatan jiwa
(psikosis, depresi, dan gangguan jiwa emosional), 12 orang pernah mencoba bunuh
diri, dan 13,12 % dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya.
Kekerasan
terhadap perempuan dapat berdampak fatal berupa kematian, upaya bunuh diri dan
terinfeksi HIV/AIDS. Selain itu, kekerasan terhadap perempuan juga dapat
berdampak non fatal seperti gangguan kesehatan fisik, kondisi kronis, gangguan mental,
perilaku tidak sehat serta gangguan kesehatan reproduksi. Baik dampak fatal
maupun non fatal, semuanya menurunkan kualitas hidup perempuan (Nurrachmawati, 2012).
Berdasarkan
penelitian Nurrachmawati
(2012), menyatakan bahwa Informan utama yaitu
korban KDRT telah mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan dari suami yang
meliputi bentuk
kekerasan fisik, ekonomi, seksual, psikis dan penelantaran rumah tangga. Faktor yang mendorong
terjadinya tindak kekerasan pada istri dalam rumah tangga yaitu dominasi suami,
faktor ekonomi, perselingkuhan, suami kecanduan alkohol, judi dan narkoba.
Dampak tindak kekerasan pada istri terhadap kesehatan fisik berupa bekas merah,
babak belur, luka dan robek di bagian yang menjadi sasaran kekerasan sehingga
menimbulkan rasa kesakitan. Kekerasan seksual berupa penyiksaan, pemaksaan
berhubungan intim pada masa menstruasi menyebabkan dispareuni, infeksi saluran
kencing, infeksi saluran kandungan dan kista. Kekerasan psikis yang menyebabkan terganggunya kestabilan
mental seperti trauma, stress,
depresi sampai gangguan jiwa berat hingga dirawat di rumah sakit jiwa.
Salah satu manifestasi kekerasan terhadap
kesehatan perempuan yaitu dampak terhadap kesehatan mental, efek
psikologis penganiayaan bagi banyak perempuan lebih parah dibanding efek
fisiknya. Rasa takut, cemas, letih,
kelainan stress post traumatik, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi
panjang dari tindak kekerasan (Huda, 2015).
Prevelansi gangguan
mental penduduk Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007 adalah 11,6 %. Berdasarkan umur, tertinggi pada kelompok umur 75 tahun ke
atas (33,7%). Sedangkan kelompok yang rentan mengalami gangguan mental adalah
kelompok dengan jenis kelamin perempuan (14,0%). Prevalensi penduduk yang
mengalami gangguan mental secara nasional adalah 6,0% (37.728 orang dari subyek
yang dianalisis). Provinsi dengan prevalensi gangguan mental tertinggi adalah
Sulawesi Tengah (11,6%), sedangkan yang terendah di Lampung (1,2%) (Riskesdas,
2013)
Berdasarkan Riskesdas 2018, terjadi peningkatan
proporsi gangguan mental yang cukup signifikan jika dibandingkan dengan
Riskesdas 2013, persentasenya meningkat dari 1,7% menjadi 7%. Provinsi Sulawesi
Tengah masih menjadi daerah dengan prevalensi gangguan mental tertinggi untuk
jenis gangguan mental depresi dan emosianal yang masing-masing 12,3% dan 19,8%
(Riskesdas, 2018).
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DPPPA) Sulawesi
Tengah mencatat ada 702 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Sulawesi
Tengah sepanjang tahun 2017 berdasarkan kabupaten/kota. Kota Palu menjadi
daerah tertinggi dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak
sebanyak 385 kasus. Selain kota Palu, Kabupaten Buol menjadi daerah tertinggi
kedua dengan jumlah sebanyak 70 kasus, disusul beberapa daerah lainnya,
diantaranya kabupaten Parigi Moutong sebanyak 69 kasus dan Banggai sebanyak 39
kasus. Jumlah kasus berdasarkan tempat kejadian sepanjang tahun 2017 terbanyak
adalah kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dengan jumlah 385 kasus. Tercatat
jumlah korban dari kasus KDRT ada sebanyak 476 korban dengan jenis kekerasan
fisik, 143 korban kekerasan seksual, 129 kekerasan psikis, 36 korban
penelantaran, 3 korban eksploitasi, dan jenis kekerasan lainnya ada 46 korban (DPPPA Provinsi Sulawesi Tengah,
2018).
Tahun
2016 Kota Palu menjadi kota yang memiliki kasus kekerasan terhadap perempuan
dan anak dengan jumlah kasus yang dilaporkan sebanyak 202 kasus, namun pada
tahun 2017 menurun menjadi 112 kasus yang didominasi oleh kasus kekerasan
terhadap perempuan sebanyak 73 kasus, dan kekerasan terhadap anak sebanyak 39
kasus, jenis kekerasan yang dilaporkan adalah kekerasan fisik. Data terbaru
dari DPPPA Kota Palu menunjukkan sepanjang tahun 2018 bulan Januari hingga Juni
telah tercatat kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 32 kasus yang
tersebar hampir merata di seluruh kelurahan di Kota Palu, kecamatan dengan
jumlah kasus tertinggi yaitu Kecamatan Tatanga dan Palu Selatan yang
masing-masing terjadi 8 kasus, diikuti kecamatan Mantikulore 4 kasus, dan
Kecamatan Ulujadi, Palu Timur, serta Palu Barat masing-masing 3 kasus (DPPPA
Kota Palu, 2018).
0 Komentar