Nama : Nining Fitra Handayani
NIM : N 201 16 071
Kelas : A
Mata Kuliah :
Gizi Kesehatan Masyarakat
Resume KVA (Kekurangan Vitamin A)
1. Pengertian KVA
Kekurangan vitamin A (KVA)
merupakan masalah kesehatan utama di negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia.
KVA terutama sekali mempengaruhi anak kecil, diantara mereka yang mengalami
defisiensi dapat mengalami xerophthalmia dan dapat berakhir menjadi kebutaan,
pertumbuhan yang terbatas, pertahanan tubuh yang lemah, eksaserbasi infeksi
serta meningkatkan resiko kematian. Kurang
vitamin A (KVA) di Indonesia masih merupakan masalah gizi utama. Meskipun KVA
tingkat berat (xerophthalmia) sudah jarang ditemui, tetapi KVA tingkat
subklinis, yaitu tingkat yang belum menampakkan gejala nyata, masih menimpa masyarakat
luas terutama kelompok balita. KVA tingkat subklinis ini hanya dapat diketahui
dengan memeriksa kadar vitamin A dalam darah di laboratorium (Pratiwi* 2013).
2. Penyebab masalah KVA
Masalah
KVA dapat diibaratkan sebagai fenomena “gunung es” yaitu masalah xeropthalmia
yang hanya sedikit tampak dipermukaan. Padahal KVA subklinis yang ditandai
dengan rendahnya kadar vitamin A dalam darah masih merupakan masalah besar yang
perlu mendapat perhatian. Hal ini menjadi lebih penting lagi, karena erat
kaitannya dengan masih tingginya angka penyakit infeksi dan kematian pada
balita. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa KVA sangat berhubungan dengan
tingkat infeksi terutama pada balita. Yang nantinya juga sangat berpengaruh
pada status gizi, status kesehatan, angka morbiditas dan mortalitas balita (Zulkifli and Kes 2007).
3. Prevalensi dan indikator terjadinya KVA
Angka
prevalensi kejadian kurang vitamin A menurut Pratiwi (2013) di beberapa daerah
di Indonesia menurut beberapa survey adalah sebagai berikut :
1. Survei
nasional pada xeroftalmia I tahun 1978 menunjukkan angka-angka xeroftalmia di
Indonesia sebesar 1,34% atau sekitar tiga kali lipat lebih tinggi dari ambang
batas yang ditetapkan oleh WHO (X16 < 0,5%).
2. Pada tahun 1992
survei nasional pada xeroftalmia II dilaksanakan, prevalensi KVA mampu
diturunkan secara berarti dari 1,34% menjadi 0,33%. Namun secara subklinis,
prevalensi KVA terutama pada kadar serum retinol dalam darah (< 20 mcg/100
ml) pada balita sebesar 50%, ini menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko
tinggi untuk terjadinya xeropthalmia dan menurunnya tingkat kekebalan tubuh sehingga
mudah terserang penyakit infeksi. Akibatnya menjadi sangat tergantung dengan kapsul
vitamin A dosis tinggi.
3.
Menurut hasil survey pemantauan status gizi dan kesehatan tahun 1998-2002, yang
menunjukkan bahwa sampai tahun 2002, sekitar 10 juta (50%) anak Indonesia
terancam kekurangan vitamin A, karena tidak mengkonsumsi makanan mengandung
vitamin A secara cukup.
4. Defisiensi vitamin A diperkira-kan
mempengaruhi jutaan anak di seluruh dunia. Sekitar 250.000-500.000 anak-anak di
negara berkembang menjadi buta setiap tahun karena kekurangan vitamin A, dengan
prevalensi tertinggi di Asia Tenggara dan Afrika. Dengan tingginya prevalensi
kekurangan vitamin A, WHO telah menerapkan beberapa inisiatif untuk
suplementasi vitamin A di negara-negara berkembang. Beberapa strategi termasuk
asupan vitamin A melalui kombinasi pemberian ASI, asupan makanan, fortifikasi
makanan, dan suplemen. Melalui upaya WHO dan mitra-mitranya, yang diperkirakan
1,25 juta kematian sejak 1998 di 40 negara karena kekurangan vitamin A telah
dihindari.
5. Sementara itu pada Mei 2003 berdasarkan data
WHO ditemukan bahwa hingga kini masih ditemukan 3 propinsi yang paling banyak
kekurangan vitamin A yaitu : Propinsi Sulawesi Selatan tingkat prevalensi
hingga 2,9%, propinsi Maluku 0,8% dan Sulawesi Utara sebesar 0,6%.
Indikator terjadinya KVA
Penyebab utama dari KVA di Negara berkembang adalah rendahnya
asupan vitamin A dan rendahnya bioavaibilitas dan vitamin A yang dikonsumsi
(sayur-sayuran dan buah-buahan). Factor yang turut berpengaruh adalah
meningkatnya kebutuhan akan vitamin A pada kelompok umur tertentu (masa balita,
ibu hamil dan menyusui) serta terjadinya infeksi.
4. Cut off point, host (populasi
rentan), agent (determinan)
·
terdapat variasi cut-off point yang
lebar yang setara dengan serum retinol <20 μg/dL. Studi di Indonesia19 pada
anak umur 3-6 tahun dengan cut-off point <0,69 μmol/L (Se=75, Sp=63),
sedangkan studi di Kepulauan Marshall20 pada anak umur 1-5 tahun dengan cut-off
point <0,77 μmol/L (Se=96, Sp=88). Penelitian pada ibu hamil di Malawi21
mendapatkan cut-off point 1,00 μmol/L (Se=88, Sp=95) dan penelitian di
Indonesia22 pada ibu menyusui mendapatkan cut-off point <1,29 μmol/L
(Se=72, Sp=70). Penelitian di Kenya23 pada wanita umur 16-45 tahun menunjukkan
koefiesien korelasi yang tinggi (r = 0,88) dengan cut-off point <0,77
μmol/L (Se=91, Sp=94) (Zulkifli and Kes 2007).
Walaupun
dengan nilai cut-off point dengan sebaran berbeda tetapi dengan nilai Se
dan Sp yang cukup tinggi menunjukkan hubungan yang erat antara serum retinol
dan RBP. Perbedaan cut-off point tersebut karena perbedaan tingkat
kejenuhan (saturasi) RBP. Ada dua jenis RBP yaitu holo-RBP dan apo-RBP.
Holo-RBP adalah RBP yang mengikat retinol sedangkan apo-RBP adalah RBP yang
tidak sedang mengikat retinol. Semakin tinggi holo-RBP semakin tinggi tingkat
kejenuhan RBP.9 Tingkat kejenuhan RBP ini bervariasi di setiap masyarakat
sehingga cut-off point dari beberapa penelitian tersebut juga berbeda (Zulkifli and Kes 2007).
·
Host
pada KVA antara lain:
a.
Kelompok umur yang terutama mudah
mengalami kekurangan vitamin A adalah kelompok bayi usia 6-11 bulan dan
kelompok anak balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun).
b.
Anak dengan Berat Badan Lahir
Rendah (BB < 2,5 kg).
c.
Anak yang tidak mendapat ASI
Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun.
d.
Anak yang tidak mendapat MP-ASI
yang cukup baik kualitas maupun kuantitas
e.
Anak kurang gizi atau dibawah
garis merah (BGM) dalam KMS.
f.
Anak yang menderita penyakit
infeksi (campak, diare, Tuberkulosis (TBC), Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA),
pneumonia dan kecacingan.
g.
Frekuensi kunjungan ke posyandu,
puskesmas/pelayanan kesehatan (untuk mendapatkan kapsul vitamin A dan
imunisasi). Defisiensi vitamin A primer disebabkan oleh kekurangan vitamin
tersebut, sedangkan defisiensi sekunder karena absorpsi dan utilisasinya yang
terhambat (Zulkifli and Kes 2007).
Agent disebabkan
oleh unsur nutrisi dimana bahan makanan atau asupan yang tidak memenuhi standar
gizi yang ditentukan(Zulkifli and Kes 2007).
5. Pencegahan dan penanggulangan KVA
Prinsip
dasar untuk mencegah dan menanggulangi masalah KVA adalah menyediakan vitamin A
yang cukup untuk tubuh. Selain itu perbaikan kesehatan secara umum turut pula
memegang peranan (Pratiwi* 2013).
Menurut
Pratiwi (2013) dalam upaya menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh,
ditempuh kebijaksanan sebagai berikut:
1. Meningkatkan
konsumsi sumber vitamin A alami melalui penyuluhan
2. Menambahkan vitamin
A pada bahan makanan yang dimakan oleh golongan sasaran secara luas
(fortifikasi)
3.
Distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi secara berkala
Upaya
meningkatkan konsumsi bahan makanan sumber vitamin A melalui proses
komunikasi-informasi-edukasi (KIE) merupakan upaya yang paling aman dan
langgeng. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan segera memberikan dampak
nyata. Selain itu kegiatan fortifikasi dengan vitamin A masih bersifat rintisan
. Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih bertumpu pada pemberian
kapsul vitamin A dosis tinggi (Depkes RI, 2000) dikutip dari (Pratiwi* 2013).
Pemberian
kapsul vitamin A terutama pada kasus gizi kurang pada balita yang juga disertai
gejala xerophtalmia. Xerophthalmia adalah kelainan mata akibat kekurangan
vitamin A, terutama pada balita dan sering ditemukan pada penderita gizi buruk
dan gizi kurang. Kelainan ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang telah
dapat ditangani sejak tahun 2006 (studi gizi mikro di 10 provinsi), namun KVA
pada balita dapat berakibat menurunnya daya tahan tubuh sehingga dapat meningkatkan
kesakitan dan kematian. Untuk itu suplementasi vitamin A tetap harus diberikan
pada balita 6-59 bulan, setiap 6 bulan, dianjurkan pada bulan kampanye kapsul
vitamin A yaitu pada bulan Februari dan Agustus. Kapsul vitamin A juga harus
didistribusikan pada balita di daerah endemik campak dan diare (Pratiwi* 2013).
Data
Riskesdas 2010 menunjukkan bahwa cakupan pemberian kapsul vitamin A secara
nasional pada anak balita sebesar 69,8 persen . Terjadi disparitas antar provinsi
dengan jarak 49,3 persen sampai 91,1 persen. Cakupan nasional ini menurun dari
71,5 persen. Sementara, pada tahun 2007 hanya 44,6 persen ibu nifas mendapat
suplementasi vitamin A dan meningkat menjadi 52,2 persen pada tahun 2010
(Kemenkes, 2010) dikutip dari (Pratiwi* 2013).
DAFTAR PUSTAKA
Pratiwi*, Yunita Satya. 2013. “Kekurangan Vitamin a
(Kva) Dan Infeksi.” Kesehatan 3(2): 7.
Zulkifli, Andi, and M Kes. 2007. “Masalah Akibat.”
0 Komentar