Iklan atas - New

Pembiayaan program hiv dan aids



 Pembiayaan Program HIV & AIDS: Menuju Universal Akses Layanan  HIV & AIDS


  Setiap warga negara berhak untuk memperoleh akses pelayanan kesehatan universal yang bermutu dan terjangkau. Untuk memastikan cakupan universal, penting bagi pemerintah mengambil langkah-langkah kebijakan yang bertujuan memperluas sistem pra-upaya (pre-paid system) dan mengurangi dengan secepat mungkin ketergantungan kepada sistem membayar langsung (out-of-pocket). Tujuan ini bisa diwujudkan dengan mengembangkan sistem pembiayaan pra-upaya yang lebih luas dan adil melalui pajak, asuransi kesehatan sosial, atau campuran antara kedua sistem. Di Indonesia dengan mayoritas warga bekerja di sektor informal dan formal, dengan realitas keberadaan sejumlah perusahaan asuransi sosial dan swasta yang telah beroperasi puluhan tahun lamanya, diharapkan agar cakupan universal pelayanan kesehatan ditempuh dengan sistem pelayanan kesehatan ganda (dual health care system).
Tahun 2014 dan tahun 2015 merupakan tahun yang sangat penting bagi kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS dimana tahun 2015 adalah awal dari pelaksanaan Rencana Strategi dan Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2015-2019. Kesinambungan program penanggulangan HIV dan AIDS dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain peraturan dan kelembagaan serta anggaran belanja. Untuk menyelenggarakan strategi dan rencana aksi tahun 2015 – 2019 dibutuhkan dana yang diharapkan bersumber dari anggaran pemerintah pusat (APBN), anggaran pemerintah provinsi dan kabupaten/kota (APBD), bantuan dari pihak swasta, masyarakat dan mitra internasional. Semua sumber pendanaan dapat berupa dana tunai maupun kontribusi non tunai, misalnya dari masyarakat dapat berbentuk kontribusi tenaga maupun fasilitas masyarakat. Dari pihak swasta kontribusi dapat berupa program-program tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) yang diselenggarakan oleh perusahaan-perusahaan nasional maupun multi nasional. Sifat eksklusif penanganan penyakit HIV dan AIDS selama ini telah disadari kurang efektif dan efisien karena menimbulkan berbagai pemahaman yang berbeda tentang pendanaannya. Tidak dapat dihindari bahwa kesadaran akan penyegeraan upaya penanganan penyakit menular berbahaya ini membuat banyak negara donor tergerak membantu penanganan kasus HIV dan AIDS di Indonesia.
Pembiayaan HIV dan AIDS menuju Akses kesehatan Universal
           Forum Kebijakan Kesehatan Nasional ke V yang di laksanakan di Bandung pada tanggal 24-25 September 2014, memiliki sesi paralel kebijakan HIV dan AIDS. Sesi pararel ini secara keseluruhan membahas 20 makalah dalam 4 sub topik. Tanggal 24 September 2014 pada sub topik Pembiayaan AIDS menuju Universal Akses HIV dan AIDS membahas lima makalah yaitu: (1) Strategi Pembiayaan Penanggulangan AIDS untuk Mencapai Universal Akses oleh dr. Nadia Tarmizi, M.Epid; (2) Eksklusi Kelompok Populasi Kunci dalam Kepersertaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Edo Nasution; (3) Strategi Penanggulangan AIDS dalam konteks Otonomi Khusus di Provinsi Papua oleh Dr. Silwanus Sumule, SpOG (K); (4) Struktur Pembiayaan Program penanggulangan HIV dan AIDS : Analisis Nasional AIDS Spending 2014 oleh dr. Mardiati Nadjib, Ph.D ; dan (5) Politik Ekonomi Kebijakan Penanggulangan AIDS di Indonesia : Analisis Pemanfaatan Dana Bantuan Hibah untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia oleh Bapak Aang Sutrisno.
Secara makro posisi Sistem Kesehatan Nasional (SKN) menurut Kemenkes RI dalam kaitan dengan Sistem Nasional lain adalah bersama sama dalam kerangka sistem sosial dan merupakan bagian dari sistem keamanan nasional. Akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas telah mulai mantap, upaya meningkatkan universal akses pada layanan kesehatan telah dimulai dengan diaktifkannya JKN. Arah pembiayaan kesehatan Nasional ditujukan kepada dua kelompok yaitu upaya kesehatan perorangan untuk pengobatan yang langsung di-cover melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dan upaya kesehatan masyarakat terutama pada upaya promotif dan preventif yang akan di-cover oleh pemerintah. Prospek pembiayaan kesehatan adalah mengikuti arah pembiayaan kesehatan nasional di mana pembiayaan yang ditujukan untuk kelompok upaya kesehatan perorangan akan menggunakan 5% APBN dan 10% APBD diluar gaji. Sedangkan untuk kelompok upaya kesehatan masyarakat akan menggunakan JKN dan Jamkesda. Pembiayaan kesehatan saat ini sebenarnya tidak sesuai dengan amanah UU No 36/2009, yang tidak mengalokasikan 5% tanpa gaji. Walaupun peningkatan dana sudah sedemikian besarnya tetapi hal tersebut masih berkisar 2%. Bahkan tahun 2014 ini terjadi penurunan sebanyak 4 trilyun.
Pada layanan komprehensif berkesinambungan (LKB) HIV dan AIDS , semua unsur terkait bersama. Unsur-unsur ini terdiri dari unsur utama layanan kesehatan (primer, sekunder, dan tersier), termasuk layanan swasta maupun pemerintah. Selain itu unsur koordinasi melalui Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD), Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) terkait dan unsur masyarakat (LSM, Organisasi masyarakat, Organisasi keagamaan dan dukungan sebaya) merupakan jejaring yang harus terkait bersama. Dengan demikian diharapkan Continuum of Care mulai dari preventif, kuratif, rehabilitatif dapat terlaksana yang pada akhirnya diharapkan akan menurunkan prevalensi HIV. Layanan HIV dan AIDS, serta Infeksi Menular Seksual (IMS) di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) adalah: Pembiayaan kasus HIV dan AIDS, serta IMS dimana untuk pelayanan rawat jalan pada FKTP sudah masuk dalam kapitasi Puskesmas. Yang tidak diperhitungkan dalam kapitasi di Puskesmas adalah penyediaan obat Pelayanan Kesehatan Dasar ( PKD) dan obat untuk program AIDS, TB, dan malaria.
Pelayanan HIV dan AIDS di pelayanan kesehatan dasar akan meliputi: pelayanan kesehatan non spesialistik, pelayanan promotif dan preventif, pemeriksaan, pengobatan, konsultasi medis, tindakan medis non spesialistik, pelayanan obat dan bahan medis habis pakai, serta pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pertama. Pengintegrasian layanan penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem layanan dasar merupakan jaminan keberlanjutan yang sesuai dengan arah pembangunan kesehatan ke depan.
Perkembangan alokasi pembiayaan untuk penanggulangan HIV dan AIDS dari sisi kebijakan dan hubungan dengan sistem kesehatan daerah digambarkan oleh         Dr. Silwanus Sumule yang membahas persoalan kesehatan di Papua dalam perspektif kesehatan dan pelaksanaan kebijakan otonomi khusus yang dimandatkan melalui UU No. 21 tahun 2001. UU ini memberikan kewenangan untuk mengatur alokasi pembiayaan sesuai dengan karakteristik lokal. Otonomi Khusus telah berhasil meningkatkan alokasi pendanaan kesehatan di Papua sebesar 15%. Kebijakan pembiayaan kesehatan ini cukup besar. Yang menjadi persoalah bagaimana dana besar ini dimanfaatkan dengan benar untuk kesehatan masyarakat Provinsi Papua secara adil dan tidak menimbulkan masalah baru.
Kondisi terkini HIV dan AIDS di Papua memperlihatkan bahwa Provinsi Papua menduduki Prevalensi HIV tertinggi di Indonesia, dimana prevalensi orang asli Papua adalah 2,9% (Studi STBP 2013). Sementara pelayanan kesehatan dasar di kampung-kampung masih sangat memprihatinkan. Oleh karena itu, program kesehatan di Provinsi Papua difokuskan pada Papua Sehat untuk Bangkit Mandiri Sejahtera 2013 – 2018. Berdasarkan Peraturan Presiden No:72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional maka disusunlah 15 program prioritas, diantaranya program Pengendalian Penyakit Menular terfokus ATM. Dalam hal pembiayaan layanan kesehatan , saat ini sedang dilakukan Sinkronisasi Jaminan Pembiayaan dan Kartu Papua Sehat (KPS). Pertimbangan sinkronisasi tersebut adalah : Sesuai Perda / Perdasus Kesehatan No 7 Tahun 2014, Orang Asli Papua (OAP) berhak mendapat 2 Jaminan Pembiayaan baik sebagai warga negara RI dan OAP, KPS digunakan sebagai "Cost Sharing" pada komponen yang tidak ditanggung atau kurang dalam jaminan Pembiayaan tersebut. KPS menopang pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional. Hal ini dianggap memungkinkan karena 15% Dana Otonomi Khusus dialokasikan untuk Bidang Kesehatan terutama untuk Layanan Kesehatan Dasar.
Sumber-sumber pembiayaan untuk Penanggulangan AIDS di Indonesia digambarkan oleh peneliti Mardiati Nadjib dari Universitas Indonesia. Peningkatan respon International terhadap HIV dan AIDS terutama pemberian bantuan finansial terus meningkat sejak 2006–2012. Pengelolaan pembiayaan tersebut perlu mekanisme pemantauan dengan tracking pemanfaatannya secara rinci untuk memastikan akuntabilitas dari penggunaan sumber-sumber dana upaya penanggulangan HIV dan AIDS. Sumber pendanaan HIV dan AIDS dapat dibagi dalam beberapa kelompok yaitu, dana yang bersumber dari :
1.        Publik melalui APBN dan APBD (minus Jamkesmas dan Jamkesda) yang menyangkut 17 Sektor dan 12 Provinsi
2.        Donor internasional yaitu: multilateral (Global Fund, UN Agencies, dan EU), dan donor Bilateral (Pemerintah Australia melalui DFAT dan Pemerintah Amerika melalui USAID)
3.        Private (Swasta) contohnya Indonesian Business Coalition on AIDS (IBCA ).
Dengan adanya dinamika perubahan sosial, ekonomi, dan politik saat ini, beberapa tantangan muncul dalam pendanaan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, yaitu:
1.        Sumber dana donor asing : Global Fund sebagai kontributor utama program HIV dan AIDS akan berakhir di tahun 2017. Apa yang harus disiapkan untuk melanjutkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia?
2.        Sumber dana Pemerintah adalah bagaimana meningkatkan peran pemda dimana HIV dan AIDS sebagai salah satu target MDGs belum diterjemahkan ke dalam Standard Pelayanan Minimum (SPM); dan
3.        Sumber dana pribadi adalah melihat sejauh mana kepedulian dunia usaha terhadap upaya penanggulangan HIV dan AIDS?

Terkait pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia, seorang peneliti independen dan penggiat AIDS, Aang Sutrisna mengemukakan bahwa di antara Negara ASEAN, pertumbuhan infeksi baru HIV di Indonesia adalah yang tertinggi. Namun demikian sebagian besar program pengendalian HIV masih didominasi oleh pendanaan mitra internasional. Perkembangan terakhir menunjukkan dana lokal cenderung meningkat dan terbesar sebagai sumber dana belanja program HIV dan AIDS sepanjang tahun 2006-2012, di ikuti Global Fund (GF) dan DFAT Australia. Distribusi dana dari donor sebagian besar adalah untuk Pencegahan dan Penelitian sedangkan dana lokal digunakan untuk pengobatan dan perlindungan sosial. Pertanyaannnya kemudian adalah bagaimana keberlanjutan komposisi pendanaan ini bila dana sumber donor luar negeri dihentikan? Indonesia yang sudah masuk dalam kategori negara lower middle income country wajib hukumnya mengembangkan strategi pembiayaan yang lebih besar untuk mengatasi kekurangan sumber dana kesehatan penanggulangan HIV da AIDS pasca GF. Alokasi untuk pembiayaan HIV dan AIDS di Indonesia masih terbilang lebih rendah, yaitu 42 %, dibandingkan dengan negara lain Philipina (52%) atau Malaysia (97%) (Gap Report, UNAIDS 2014).
Penutup
Integrasi pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan umum merupakan strategi untuk jaminan keberlanjutan layanan. Secara fungsional LKB merupakan langkah pengintegrasian upaya tersebut dengan konsep layanan yang partisipatif melibatkan berbagai pihak mulai dari komunitas (Kelompok dukungan sebaya), kader kesehatan, dan interelasi layanan primer dengan layanan sekunder. Sudah terdapat peningkatan alokasi pembiayaan HIV dan AIDS dari sumber lokal. Arah pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS masih menggantungkan harapan alokasi bidang kesehatan sebear 5% dari APBN dan 10% dari APBD di luar gaji sesuai dengan amanah UU:No 36/2009 tentang kesehatan yang selama ini belum terpenuhi. Dengan alokasi demikian diharapkan cakupan universal coverage akan sedikit demi sedikit terpenuhi. Penanggulangan HIV dan AIDS memasuki babak baru dalam pelaksanaannya karena kondisi sosial, ekonomi dan politik yang berubah cepat. JKN merupakan jawaban untuk integrasi pengelolaan pembiayaan HIV dan AIDS ke dalam sistem kesehatan nasional. Advokasi dan monitoring pelaksanaan JKN dalam memberikan akses pembiayaan terhadap kelompok terpinggirkan baik Orang yang hidup dengan HIV dan AIDS (ODHA), maupun komunitas yang dikategorikan sebagai masyarakat penyandang masalah sosial lainnya. JKN juga diharapkan mencangkup pencegahan, perawatan, pengobatan, dan dukungan (PDP), serta dampak mitigasi.

Sumber : 

Djumiati Musiah, 2014. Pembiayaan Program Hiv & Aids: Menuju Universal Akses Layanan  Hiv & Aids. Universitas Negeri Papua (http:// www. kebijakan aids indonesia.net/id/component/content/article/38  info-proyek-project-info/progress-report/901-pembiayaan-program-hiv-aids-menuju-universal-akses-layanan-hiv-aids). Diakses pada 8 Desember pukul 18.27 WITA.

Posting Komentar

0 Komentar