Dinamika Pembiayaan Kesehatan di Era Jaminan Kesehatan Nasional:
Apakah prinsip keadilan diperhatikan?
Di tahun-tahun terakhir ini terdapat dinamika sumber
pembiayaan di Indonesia (2005 – 2011) yang dicatat melalui data NHA 2013 dari
Universitas Indonesia. Dalam era menjelang berjalannya Jaminan Kesehatan
Masyarakat, terjadi peningkatan sumber anggaran kesehatan dari pajak (General
tax revenue financing) dan Pendapatan Negara Bukan Pajak. Peran serta
pemerintah daerah semakin meningkat. Ada catatan penting untuk sumber
pembiayaan dari pemerintah daerah yang meningkat. Sebagian besar digunakan
untuk Jaminan Kesehatan daerah. Penelitian di berbagai propinsi menunjukkan
bahwa pembiayaan pemerintah daerah untuk pelayanan kesehatan preventif dan
promotif masih rendah (data dari HETS dan Investment Case). Sumber anggaran
dari Asuransi Kesehatan Sosial (non PBI) juga meningkat. Asuransi Kesehatan
Swasta mengalami peningkatan. Pembayaran Sendiri (Self pay) dalam data
NHA digambarkan menurun secara relatif.
Berdasarkan penelitian monitoring JKN yang dilakukan oleh
Jaringan Kebijakan Kesehatan Indonesia terdapat fenomena menarik. Anggaran
kesehatan yang berasal dari sumber pemerintah sejak tahun 2014 ditampung (pool)
ke dua tempat besar yaitu: (1) pemerintah yang mencakup APBN dan APBD, serta
(2) BPJS. APBN untuk kesehatan dibagi ke berbagai Kementerian seperti Kemenkes,
Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Pendidikan, BKKBN, Badan POM dan
berbagai unit pemerintah pusat. Sebagian APBN masuk ke APBD yang dengan
penambahan dari PAD menjadi tempat penampungan dana kesehatan sebelum
disalurkan.
Khusus untuk BPJS sebagai tempat penampungan pembiayaan
kesehatan yang terkait dengan risiko sakit, ada berbagai sumber pemasukan, yang
ditargetkan sebesar Rp 38.2 Triliun di tahun 2014 . Sumber pendapatan tersebut
adalah:
1. Anggaran pemerintah yang berasal
dari APBN melalui Kemenkes untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI). Untuk tahun 2014
sebesar Rp 19.93 T . Jumlah ini berasal dari dana Jamkesmas sebesar Rp 8.10
Triliun di tahun 2013;
2. Pemasukan dari non PBI yang eks PT
Askes Indonesia, PT Jamsostek, Asabri dan lain-lain sebesar l,k 46% dari
pemasukan ;
3. Non-PBI yang membayar mandiri dengan
premi berjenjang: Rp 59.500,- untuk kelas 1 per bulan, Rp 45.500 untuk kelas
II, dan Rp 25.500 untuk kelas 1. Target penerimaan di tahun 2014 adalah Rp 104
milyar rupiah.
Sebagai catatan: dalam aspek risiko, Kelompok Non-PBI
mandiri mempunyai risiko dimana pesertanya adalah masyarakat yang sakit,
cenderung sakit, dan berada pada masyarakat kelas menengah ke atas. Hal ini
merupakan gejala Adverse Selection. Ada kemungkinan di sistem JKN akan terjadi
kebalikan dari tujuan dimana orang kaya yang sehat seharusnya mensubsidi orang
miskin yang sakit.
Anggaran kesehatan yang dikelola langsung oleh Kementerian
Kesehatan secara persentase menurun. Di pertengahan tahun, pada tanggal 19 Mei
2014 ada INPRES yang mengurangi anggaran Kementerian Kesehatan sebesar Rp 5
triliun . Akan tetapi dalam APBN-Perubahan, penurunan tersebut tidak sebesar Rp
5 triliun. DI tahun 2014 sebagian dana Kemenkes masuk ke BPJS. Hal ini
berdampak bahwa Kemenkes tidak mempunyai kewenangan untuk menetapkan alokasi
anggaran.
Anggaran di BPJS ditetapkan dengan perhitungan kapitasi
untuk pelayanan primer dan klaim untuk pelayanan rujukan. Pembiayaan untuk
preventif dan promotif masih belum jelas. Sebagian besar anggaran Kemenkes
berada di Direktorat Jendral BUK yang banyak mendanai kegiatan pelayanan
rumahsakit. Sementara itu pembiayaan kesehatan dari donor khususnya Global Fund
mempunyai perubahan metode.
Anggaran kesehatan di kementerian
lain meningkat dari tahun ke tahun. Sebagian besar ada di berbagai Kementerian
yang dalam konteks determinan sosial kesehatan berperan dalan program
pencagahan dan promosi kesehatan.
Bagaimana
cara mengalirkan dana kesehatan?
Dari APBN dan APBD dana kesehatan mengalir melalui alokasi
ke RS dan Puskesmas dari APBN dan APBD. Alokasi ditentukan oleh sistem perencanaan
yang diusahakan rasional. Sementara itu dana sebesar l,k 40 Triliun dibagikan
ke pemberi pelayanan melalui mekanisme pembayaran di BPJS. Sebagai pembayar,
BPJS mempunyai mekanisme membayar dengan cara:
- Kapitasi untuk pelayanan kesehatan primer, dan
- Klaim untuk pelayanan kesehatan rujukan.
Anggaran kapitasi ditetapkan dengan perencanaan yang
mempunyai batas atas. Sementara itu klaim tidak ditetapkan secara batas atas.
Hal ini dapat menjadi sumber permasalahan yang membahayakan ketimpangan geografis.
Besaran klaim dapat ditentukan oleh:
- Benefit Package yang terbatas karena keterbatasan jumlah dan jenis SDM kesehatan di daerah tertentu, atau sebaliknya;
- Penetapan tarif di RS kelas C yang cenderung rendah;
- Demografi dan geografis yang menyulitkan akses masyarakat; dan
- Ketidak mampuan melakukan klaim secara administratif.
Risiko
terjadinya ketidak adilan dalam pembiayaan kesehatan saat ini dan di masa
mendatang
Situasi pembiayaan saat ini menunjukkan prinsip yang
menarik: Daerah yang mempunyai jumlah penduduk banyak dan padat, SDM lengkap,
fasilitas yang baik, dan kemampuan melakukan klaim dengan baik akan memperoleh
dana BPJS besar.Keadaan ini diperburuk dengan situasi kalau di daerah tersebut
terjadi tindakan fraud di pelayanan kesehatan yang dapat meningkatkan klaim
BPJS. Apa artinya? Dana BPJS sebagian besar akan digunakan per kapita oleh
penduduk Jawa dan perkotaan. Hal ini akan membahayakan prinsip keadilan sosial.
Referensi:
Kebijakan
Kesehatan Indonesia. 2014. Dinamika Pembiayaan
Kesehatan di Era Jaminan Kesehatan Nasional: Apakah prinsip keadilan diperhatikan?.
Universitas Padjadjaran. Bandung. (http://www.kebijakankesehatanindonesia.net/23-agenda/1807-dinamika-pembiayaan-kesehatan-di-era-jaminan-kesehatan-nasional-apakah-prinsip-keadilan-diperhatikan). Diakses pada Senin, 14
Desember 2105. Pukul 20.08 WITA.
0 Komentar