Iklan atas - New

Artikel Pembiayaan kesehatan BPJS



Pembiayaan kesehatan BPJS
Prof. Laksono Trisnantoro, guru besar FK UGM,  dikenal sebagai salah seorang pakar kesmas di bidang manajemen kesehatan yang produktif menghasilkan karya-karya ilmiah bagi pengembangan sistem kesehatan di Indonesia, khususnya melalui PMPK FK UGM.
Salah satu yang selalu menjadi concern beliau dan saya amati terus sejak perdebatan panjang pengembangan sistem jaminan kesehatan nasional adalah terkait peran dokter sebagai aktor penting dalam pemberian pelayanan kesehatan. Presentasi beliau dalam diskusi mengenai Ideologi dalam Kebijakan Kesehatan di Indonesia dan dampaknya terhadap rumah sakit Kamis, 2 Februari 2012.Pukul 12.00 sampai 14.00 di Gedung Granadi Jakarta menjadi sangat menarik untuk diikuti terutama bagi mereka yang tertarik menekuni aspek SDM dan pembiayaan kesehatan.
Berikut ini adalah kutipan artikel yang diterbitkan Jawa Post network di website mereka dan kemudian hangat didiskusikan di milist desentralisasi kesehatan:



NASIONAL – SOSIAL
Rabu, 11 Januari 2012 , 05:16:00
Duit BPJS Bisa Tekor Jika Pecandu Rokok Dimasukkan Sebagai Tertanggung
JAKARTA – Pelaksanaan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) masih aktif Januari 2014 nanti. Pengelolaan yang tepat sudah mulai bermunculan. Diantaranya diutarakan oleh anggota dewan Jaminan Sosial Nasional Dr Fachmi Idris. Dia mengatakan, anggaran BPJS bisa tekor jika pecandu rokok juga ikut tertanggung.
Fachmi mengatakan, memang masyarakat pecandu rokok menjadi polemik dalam sistem penanggunan BPJS. Dia mengatakan, jumlah pecandu rokok laki-laki dewasa di tanah air ini mencapai 60 persen lebih. Sementara itu, perokok perempuan juga mengalami perkembangan yang mengkhawatirkan.Jebolan Fakultas Kedokteran Unsri, Palembang, ini mengatakan jika keberadaan para pecandu rokok dalam sistem BPJS memang menjadi polemik besar. “Kita masih sulit untuk mengeluarkan pernyataan tegas jika pecandu rokok tidak di-cover BPJS,” katanya.
Namun, dari kesulian mengeluarkan pernyataan tegas ini justru menjadi boomerang. Menurut Fachmi, dengan sikap ketidaktegasan ini masyarakat pecandu roko malah bisa meremehkan. “Tenang saja, kalaupun nanti sakit akan ditanggung pemerintah,” tutur Fachmi. Dia sangat khawatir jika kondisi ini benar-benar terjadi kelak ketika BPJS mulai benar-benar dijalankan. Sebab, bisa membuat tekor anggaran yang dikeluarkan pemerintah melalui sistem BPJS.
Sebagai antisipasinya, Fachmi mengusulkan jika pemerintah mulai saat ini fokus merubah paradigma sakit menjadi paradigm sehat. Jadi, katanya, pemerintah sudah tidak terlalu sibuk ngomong tentang bagaimana menyembuhkan orang sakit, dan berapa anggarannya. Tetapi, lebih fokus pada bagaimana menjaga penduduk Indonesia tetap sehat.
Untuk menjalankan paradigma atau polapikir baru ini, Fachmi mengatakan perlu digiatkan rencana menjalankan dokter keluarga. Dia menjelaskan, satu dokter keluarga ini adalah seorang dokter umum yang bertugas melayani sekitar dua ribu orang. Dengan total penduduk Indonesia sekitar 237 juta jiwa, maka diperlukan dokter keluarga sejumlah 125 ribu orang.
Para dokter keluarga inilah yang nantinya menjadi penjaga gawang promosi kesehatan. Fachmi mengatakan, fungsi kuratif atau penyembuhan penyakit masih tetap menjadi tugas dokter keluarga ini. Dengan keberadaan dokter keluarga ini, dia mengatakan bisa menekan kebiasaan puskesmas mengeluarkan surat rujukan pasien ke rumah sakit. Dengan keberadaan surat rujukan ini, bisa membuat biaya kesehatan masyarakat membengkak.
Persoalan selanjutnya yang masih lengket dalam rencana menggalakan dokter keluarga ini adalah jumlah premi dari masyarakat yang dibayarkan pemerintah. Selama ini, muncul kabar jika premi yang disiapkan pemerintah sebesar Rp 20 ribu per kepala per bulan. Dengan besaran premi tadi, diperkirakan beban keuangan negara di APBN untuk membiayai premi masyarakat sebesar Rp 38 triliun.
Fachmi menyayangkan jika anggaran yang besar ini habis untuk menunjang pengobatan masyarakat yang sakit karena perilaku yang tidak sehat. Diantaranya adalah para masyarakat yang merokok. (wan)
Pernyataan dr. Fachmi agar bahwa anggaran BPJS akan habis untuk membayar sakit yang diderita perokok di Indonesia yang notabene sangat tinggi (data Surkesda menunjukkan pada pria berkisar 50% lebih) bukanlah pernyataan baru, sudah sejak lama dalam pembiayaan kesehatan diperdebatkan apakah dalam sistem asuransi diperlukan disinsentif bagi mereka yang dianggap memiliki perilaku beresiko tinggi bagi kesehatan. Akan sangat mudah menjawab iya jika asuransi yang dipilih adalah private insurance/asuransi swasta yang memang terbiasa atau sah-sah saja melakukan proses penilaian terlebih dahulu terhadap calon pesertanya. Nah dalam kasus Indonesia yang sedang bersiap-siap mengembangkan sistem asuransi sosial dalam bentuk SJSN maka tingginya jumlah perokok yang akan menjadi peserta sungguh menimbulkan debat yang cukup hangat, apalagi kemudian sebagian peserta SJSN preminya akan ditanggung pembayar pajak dalam bentuk subsidi plus sebagian yang mendapat subsidi premi ini adalah perokok.
Saya akan mencoba menampilkan kedua sisi argumen yang mendukung bahwa perokok harus memperoleh disinsentif dalam SJSN dan argumen yang beranggapan bahwa negara harus menjamin seluruh rakyatnya tanpa kecuali tanpa perbedaan. Sebagian argumen adalah kutipan kutipan dari pernyataan teman teman anggota milist desentralisasi kesehatan, ini untuk semakin memperluas wawasan kita atas berbagai isu yang terkait dengan debat ini.
Mengapa perokok harus diganjar disinsentif?
Merokok adalah pilihan pribadi, termasuk menanggung resiko kesehatan atas pilihan yang ditimbulkannya, mengapa negara harus menjamin pembiayaan atas resiko yang dipilih sendiri.
Pembiayaan atau subsidi atau premi yang sama untuk perokok akan merugikan peserta lainnya karena resiko penyakit yang dimiliki perokok lebih berat serta bersifat kronis, akibatnya beban pengobatan akan sangat besar.
Pemberian disinsentif berupa kenaikan besaran premi atau model mengurangan benefit akan memaksa perokok memikirkan ulang perilakunya sehingga justru bisa bersifat promotif dan preventif. Terkadang diperlukan sikap tegas/aturan yang ketat untuk merubah perilaku seseorang.
Biaya yang bisa dihemat dari disinsentif perokok dapat digunakan untuk kepentingan peningkatan upaya preventif dan promotif yang akan sangat berguna di masa depan.
Perokok tidak boleh dibedakan dari peserta SJSN lainnya!
Tidak ada landasan ilmiah apapun yang bisa digunakan untuk menuduhkan bahwa merokoklah yang menimbulkan penyakit yang diderita seorang peserta yang perokok. Secara epidemiologis memang merokok meningkatkan resiko terkena kanker paru, tetapi secara klinis medis; sulit sekali membuktikan bahwa kanker paru yang diderita seorang perokok disebabkan oleh rokok yang ia hisap. Dibutuhkan pembuktian untuk menghilangkan berbagai kemungkinan penyebab lainnya, sudah lazim sebuah penyakit degeneratif dapat terjadi karena interaksi berbagai faktor resiko. Sulit menghukum seseorang perokok dengan disinsentif dalam program SJSN dengan menggunakan logika ilmiah yang lemah.
Harus diingat bahwa seseorang menjadi perokok belum tentu karena pilihan pribadi semata, ada yang disebut sebagai determinan sosial yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk merokok. Sudah banyak sekali artikel ilmiah yang mengkaitkan antara tingginya prevalensi merokok dan kemiskinan, antara merokok dan pendidikan, antara merokok dan pekerjaan, bahkan antara merokok dan “sovereignty”. Jadi jangan sampai sesorang yang jatuh tertimpa tangga pula. Jangan blame the victim.
Banyak perokok di Indonesia adalah tulang punggung keluarga miskin, memberikan disinsentif mengancam kemampuan keluarga miskin ini untuk survive dan hidup lebih layak, jauh dari kekhawatiran terhadap biaya kesehatan yang mencekik leher. Disini masalah etika kesmas banyak berperan
SJSN adalah asuransi sosial yang sifatnya wajib, semua warga negara harus ikut serta tanpa pengecualian, tidak ada skrining seperti asuransi swasta, lalu mengapa harus ada disinsentif buat perokok.
Mengapa disinsentif, justru harus tawarkan insentif agar berhenti merokok.
Ideologi negara kita adalah negara sosial, kesejahteraan dan kesehatan adalah hak semua warga negara, tidak boleh ada pembedaan-pembedaan.Saya tidak akan menyimpulkan, justru bertanya, ada argumen lain yang bisa dimasukkan ke dalam kelompok di atas???
Sejak diundangkan pada tahun 2004 lewat UU no 40 tahun 2004, SJSN terus menjadi perdebatan hangat diantara akademisi dan juga politikus negeri ini. Faktanya kemudian adalah SJSN seperti jalan di tempat bahkan peraturan pelaksananya tidak juga kunjung terbentuk, terakhir UU BPJS yang diharapkan menjadi pendorong utama political will pelaksanaan SJSN seperti menjadi ajang tawar menawar kepentingan di antara BUMN, pemerintah yang notabene menguasai BUMN, DPR dan akademisi, bahkan serikat karyawanpun ikut berperan pro dan kontra.
Seperti apa sebenarnya SJSN, apa cita cita mulia yang ada di dalamnya dan bagaimana jika terlaksana serta ideologi apa yang dianutnya, pantas jika kemudian buku berjudul Reformasi Sistem Jaminan Sosial di Indonesia yang diterbitkan kementerian Menkokesra bekerjasama dengan GTZ ini dibaca khususnya oleh mahasiswa penekun manajemen kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Posting Komentar

0 Komentar