Pembiayaan Kesehatan
Kesehatan
adalah unsur vital dan merupakan elemen konstitutif dalam proses kehidupan
seseorang. Tanpa kesehatan, tidak mungkin bisa berlangsung aktivitas seperti
biasa.
Sebagai subsistem penting dalam
penyelenggaraan pembanguan kesehatan, terdapat beberapa faktor penting dalam
pembiayaan kesehatan yang mesti diperhatikan. Pertama, besaran (kuantitas)
anggaran pembangunan kesehatan yang disediakan pemerintah maupun sumbangan
sektor swasta. Kedua, tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan
(fungsionalisasi) dari anggaran yang ada.
Di Negara kita, proporsi anggaran
pembangunan kesehatan tidak pernah mencapai angka dua digit dibanding dengan
total APBN/APBD.
Padahal, Badan Kesehatan Dunia (WHO)
jauh-jauh hari telah menstandarkan anggaran pembangunan kesehatan suatu Negara
pada kisaran minimal 5% dari GDP (Gross Domestic Product/Pendapatan
Domestik Bruto).
Pada tahun 2003, pertemuan para
Bupati/Walikota se-Indonesia di Blitar telah juga menyepakati komitmen besarnya
anggaran pembangunan kesehatan di daerah-daerah sebesar 15% dari APBD.
Kenyataannya, Indonesia hanya mampu mematok anggaran kesehatan sebesar 2,4%
dari GDP, atau sekitar 2,2-2,5% dari APBN.
Terbatasnya anggaran kesehatan di
negeri ini, diakui banyak pihak, bukan tanpa alasan. Berbagai hal bias dianggap
sebagai pemicunya. Selain karena rendahnya kesadaran pemerintah untuk
menempatkan pembangunan kesehatan sebagai sector prioritas, juga karena
kesehatan belum menjadi komoditas politik yang laku dijual di negeri
yang sedang mengalami transisi demokrasi ini. Ironisnya, kelemahan ini bukannya
tertutupi dengan penggunaan anggaran yang efektif dan efisien. Beberapa tahun
yang lalu, lembaga transparansi internasional mengumumkan tiga besar intansi
pemerintah Indonesia yang paling korup. Nomor satu adalah departemen agama,
selanjutnya departemen kesehatan dan terakhir adalah departemen pendidikan.
Temuan ini semakin menguatkan dugaan
adanya tindak “mafia” anggaran pembangunan kesehatan pada berbagai instansi
kesehatahn di seantero negeri ini. Praktek korupsi, kolusi dan nepotisme –
seperti juga dialami di intansi lainnya – tetap berurat akar dengan subur di
departemen kesehatan.
Akibatnya, banyak kita jumpai
penyelenggaraan program-program kesehatan yang hanya dilakukan secara
asal-asalan dan tidak tepat fungsi. Relatif ketatnya birokrasi di lingkungan
departemen kesehatan dan instansi turunannya, dapat disangka sebagai biang
sulitnya mengejar transparansi dan akuntabilitas anggaran di wilayah ini. Peran
serta masyarakat dalam pembahasan fungsionalisasi anggaran kesehatan menjadi
sangat minim, jika tak mau disebut tidak ada sama sekali. Pada sisi lain, untuk
skala Negara sedang berkembang, Indonesia yang masih berkutat memerangi
penyakit-penyakit infeksi tropik akibat masih buruknya pengelolaan lingkungan,
seharusnya menempatkan prioritas pembangunan kesehatan pada aspek promotif dan
preventif, bukan semata di bidang kuratif dan rehabilitatif saja. Sebagai
catatan, rasio anggaran antara promotif dan preventif dengan
kuratif-rehabilitatif selama ini berkisar pada 1:3, suatu perbandingan yang
tidak cukup investatif untuk bangsa sedang berkembang seperti Indonesia.
Akibatnya, sejumlah program
kesehatan di negeri ini masih berputar-putar pada upaya bagaimana mengobati
orang yang sakit saja, bukannya mencari akar permasalahan yang menjadi penyebab
mereka jatuh sakit kemudian meneyelesaikannya.
Untuk kasus
Indonesia, belum ada grand strategy yang terarah dalam peningkatan kualitas
kesehatan individu dan masyarakat, yang dengan tegas tercermin dari minimnya
pos anggaran kesehatan dalam APBN maupun APBD. Belum lagi jika kita ingin
bertutur tentang program pengembangan kesehatan maritim yang semestinya menjadi
keunggulan komparatif negeri kita yang wilayah perairannya dominan. Pelayanan
kesehatan di tiap sentra pelayanan selalu jauh dari memuaskan.
Minimnya
Anggaran Negara yang diperuntukkan bagi sektor kesehatan, dapat dipandang
sebagai rendahnya apresiasi kita akan pentingnya bidang ini sebagai elemen
penyangga, yang bila terabaikan akan menimbulkan rangkaian problem baru yang
justru akan menyerap keuangan negara lebih besar lagi. Sejenis pemborosan baru
yang muncul karena kesalahan kita sendiri.
DAFTAR
PUSTAKA
Asta Qauliyah.
2015. Masalah Pembiayaan Kesehatan di Indonesia. (http://www.astaqauliyah.com/blog/read/225/masalah-pembiayaan-kesehatan-di-indonesia.html).
0 Komentar