1.
Pengertian Anemia Gizi Besi
Anemia Gizi Besi adalah anemia yang timbul karena kekurangan Zat Besi
sehingga pembentukan sel-sel darah merah dan fungsi lain dalam tubuh terganggu.
WHO
menyatakan bahwa cara terbaik untuk menangani anemia defisiensi besi adalah
dengan mengatasi semua faktor secara bersamaan, yaitu dengan memperbaiki asupan
zat besi, pengendalian infeksi dan perbaikan faktor-faktor resiko lain (WHO 2001,
dikutip dalam(H. P. Sari, Dardjito, Anandari, Kesehatan, &
Jenderal, n.d.)).tahun????
Wanita tersebut masuk jenis anemia apa?
2.
Prevelensi Anemia Gizi Besi
Menurut data hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di Indonesia
yaitu 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan 18,4%
penderita berumur 15-24 tahun (Kemenkes RI, 2014 dalam kutip Retno Desita Putri
2017). Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2012 menyatakan bahwa
prevalensi anemia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil sebesar 50,5%, ibu nifas
sebesar 45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan usia 19- 45
tahun sebesar 39,5%. Wanita mempunyai risiko terkena anemia paling tinggi
terutama pada remaja putri (Kemenkes RI, 2013 dalam kutip Retno Desita Putri
2017). Remaja putri mempunyai resiko tinggi untuk anemia karena pada usia ini
terjadi peningkatan kebutuhan zat besi akibat pertumbuhan, adanya menstruasi,
sering membatasi konsumsi makan, serta pola konsumsinya sering menyalahi
kaida-kaidah gizi. Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi status anemia
remaja diantaranya yaitu pengetahuan gizi, pola makan, dan kepatuhan konsumsi
tablet Fe. Pengetahuan gizi adalah pemahaman mengenai makanan dan komponen zat
gizi, sumber zat gizi pada bahan makanan, makanan yang aman dikonsumsi yang
tidak menimbulkan penyakit serta cara untuk mengolah bahan makanan yang tepat
agar kandungan zat gizi dalam bahan makanan tidak hilang serta pola hidup sehat
(Sakti, 2003 dalam kutip(Putri & Simanjuntak, 2015)
Menurut Riskesdas (2007) prevalensi anemia berdasarkan SK Menkes yaitu
provinsi Sulawesi Tengah 13.4%, Anemia pada remaja putri di sulawesi tengah
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena prevalensinya kurang dari
15%. Batas kadar Hb remaja putri untuk mendiagnosis anemia yaitu apabila kadar
Hb kurang 12 gr/dl (Riskesdas 2007 dalam kutip(Putri & Simanjuntak, 2015). Status gizi merupakan faktor
penyebab terjadinya anemia, status gizi ini dipengaruhi oleh pola makan,
keadaan sosial, ekonomi, budaya, kesehatan lingkungan, daya tahan tubuh,
fasilitas kesehatan, infeksi, infestasi cacing dalam tubuh, serta pendidikan
yang saling berkaitan dan sangat kompleks.
Prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia 40,1% dan pada tahun 2007
turun menjadi 24,5% (SKTR 2007, dikutip dalam(Paendong, Suparman, Prof, &
Manado, 2016). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan
Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia
naik menjadi 37,1% (Riskesdas 2013, dikutip dalam.
Sulawesi tengah??????masalah kesehatan masyarakat?
3.
Indikator Anemia Gizi Besi
Kadar hemoglobin
saat kita lahir tinggi (20 gram/dl), tetapi
menurun pada kehidupan tiga bulan pertama sampai angka terendah (10 gram/dl)
sebelum meningkat kembali menjadi nilai dewasa normal (>12 gram/dl pada
wanita dan >13 gram/dl pada pria). Konsentrasi Hb adalah indikator yang
paling dapat diandalkan dari anemia pada tingkat populasbatas kadar hemoglobin
normal untuk masing masing kelompok umur dan jenis kelamin diantaranya adalah
11 gram/dl untuk kelompok anak usia 6 bulan sampai dengan 6 tahun, 12 gram/dl
untuk anak usia 6 sampai dengan 14 tahun, 13 gram/dl untuk kelompok pria
dewasa, 12 gram untuk kelompok wanita dewasa, 11 gram/dl untuk xkelompok ibu hamil, dan 12 gram untuk kelompok ibu menyusui
lebih dari 3bulan. WHO menyebutkan bahwa
kurang lebih50% penyebab dari kejadian anemia
adalah defisiensi
zat besi. (Aulia et al., 2017)
Departemen
Kesehatan menetapkan derajat anemia sebagai berikut ringan sekali bila Hb 11
g/dl – batas normal, ringan Hb 8 g/dl – 11 g/dl, sedang Hb 5 g/dl – 8 g/dl, dan
berat Hb < 5 g/dl. Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan
menggunakan alat sahli, dilakukan minimal 2 kali selama kehamilan yaitu
trimester I dan III. (Tarwoto & Wasnidar, 2007) dalam (Parulian, Roosleyn, Tinggi, Kesehatan, & Widya,
2016).
Pemeriksaan kadar serum feritin terbukti sebagai
indikator paling dini, yaitu menurun pada keadaan cadangan besi tubuh menurun.
Pemeriksaannya dapat dilakukan dengan metode immunoradiometric assay (IRMA) dan
enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Ambang batas atau cut off kadar
feritin sangat bervariasi bergantung metode cara memeriksa yang digunakan atau
ketentuan hasil penelitian di suatu wilayah tertentu. (Citrakesumasari, 2012)
Adapun nilai
normal serum ferritin dapat dilihat pada tabel berikut:
Anemia gizi besi
terjadi melalui beberapa tingkatan (Citrakesumasari 2012), yaitu :
1.
Tingkatan
pertama disebut “Anemia Kurang Besi Laten” merupakan keadaan dimana banyaknya
cadangan zat besi berkurang dibawah normal, namun besi di dalam sel darah dan
jaringan masih tetap normal.
2.
Tingkatan
kedua disebut “Anemia Kurang Besi Dini” merupakan keadaan dimana penurunan besi
cadangan terus berlangsung sampai habis atau hampir habis, tetapi besi dalam
sel darah merah dan jaringan masih tetap normal.
3.
Tingkatan
ketiga disebut “Anemia Kurang Besi Lanjut” merupakan perkembangan lebih lanjut
dari anemia kurang besi dini, dimana besi di dalam sel darah merah sudah
mengalami penurunan, tetapi besi di dalam jaringan tetap normal.
4.
Tingkatan
keempat disebut “Kurang Besi dalam Jaringan” yang terjadi setelah besi dalam
jaringan yang berkurang
4. Gambaran
Klinis
Gambaran klinis
secara umum adalah lemah, mudah lelah, kulit wajah terlihat pucat, kuku seperti
sendok mudah patah dan rapuh (koilonychia). Tanda dan gejala di rongga mulut
adalah lidah terasa sakit, sakit dimulut dan disfagi (paterson-kelly/
plummer-vinson syndrom), lidah sensasi terbakar dirongga mulut terlihat atropi
mukosa mulut, atropik glossitis, lidah terlihat meradang halus, khelitis
angularis, kandidiasis dimulut. Untuk menentukan defesiensi fe dilakukan
diagnostik tes berupa pemeriksaan darah rutin dan serum fe, didiagnostik
banding kasus ini adalah anemia pernisiosa kandidiasis, sindrom sjogren,
stomatitis kontak gangguan neurologik, efek samping pengguanaan obat dan
devesiensi vitamin. (Littel, 2002
dikutip dalam widyaskara 2012)
Kriteria diagnosis ADB menurut WHO
adalah: 1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia; 2. Konsentrasi Hb eritrosit
rata-rata <31% (N :32-35%); 3. Kadar fe serum <50Ug/dl (N :80-180 ug/dl);
dan 4. Saturasi transferin< 15% (N : 20-50%). Gejala klinis ADB sering
terjadi perlahan. Gejala umumnya yang terjadi adalah pucat. Pada ADB dengan
kadar Hb 6-10 g/dl terjadi mekanisme kompensasi yang efektif sehingga gejala
anemia hanya ringan saja. Tetapi bila Hb turun sampai <5 g/dl timbunan
gejala iritabel dan anoreksia. Bila anemia terus berlanjut kan menjadi
takikardi, dilatasi jantung,. Gejala lain adalah perubahan sejumlah epitel yang
menimbulkan gejala koilonikia, atrofi papil lidah, perubahan mukosa lambung dan
usus, penurunan aktifitas kerja dan daya tahan tubuh terhadap infeksi,
termognesis yang tidak normal serta gangguan perilaku dan kognitif (IDAI 2010,
dikutip dalam (Parepare, 2018).
5. Implikasi
Anemia
Akibat anemia
gizi besi terjadi pengecilan ukuran hemoglobin, kandungan hemoglobin rendah,
serta pengurangan jumlah sel darah merah. Anemia dapat terjadi pada semua
siklus kehidupan, yang tentunya memiliki efek negative bagi kesehatan seseorang
(Citrakesumasari, 2012).
Berikut
ini adalah implikasi dari berbagai usia (Citrakesumasari, 2012):
a. Bayi
Beberapa akibat
yang disebabkan oleh anemia pada bayi yaitu:
1.
Terhadap
kekebalan tubuh (imunitas seluler dan humoral)
Kekurangan zat
besi dalam tubuh dapat lebih meningkatkan kerawanan terhadap Penyakit infeksi.
Seseorang yang menderita defisiensi besi (terutama balita) lebih mudah
terserang mikroorganisme, karena kekurangan zat besi berhubungan erat dengan
kerusakan kemampuan fungsional dari mekanisme kekebalan tubuh yang penting
untuk menahan masuknya penyakit infeksi.
2.
Imunitas
humoral
Pada manusia kemampuan pertahanan tubuh ini
berkurang pada orang-orang yang menderita defisiensi besi. Nalder dkk
mempelajari pengaruh defisiensi besi terhadap sintesa antibody pada tikus-tikus
dengan menurunkan setiap 10% jumlah zat besi dalam diit. Ditemukan bahwa jumlah
produksi antibodi menurun sesudah imunisasi dengan tetanus toksoid, dan
penurunan ini secara proporsional sesuai dengan penurunan jumlah, zat besi
dalam diit. Penurunan fifer antibodi tampak lebih erat hubungannya dengan
indikator konsumsi zat besi, daripada dengan pemeriksaan kadar hemoglobin,
kadar besi dalam serum atau feritin, atau berat badan.
3.
Imunitas
sel mediated
Invitro responsif dari limfosit dalam darah tepi
dari pasien defisiensi besi terhadap berbagai mitogen dan antigen merupakan
topik hangat yang saling kontraversial. Bhaskaram dan Reddy menemukan bahwa
terdapat reduksi yang nyata jumlah sel T pada 9 anak yang menderita defisiensi
besi. Sesudah pemberian Suplemen besi selama empat minggu, jumlah sel T naik
bermakna.
4.
Fagositosis
Faktor penting lainnya dalam aspek defisiensi besi
adalah aktivitas fungsional sel fagositosis. Dalam hal ini, defisiensi besi
dapat mengganggu sintesa asam nukleat mekanisme seluler yang membutuhkan
metaloenzim yang mengandung Fe. Schrimshaw melaporkan bahwa sel-sel sumsum
tulang dari penderita kurang besi mengandung asam nukleat yang sedikit dan laju
inkorporasi (3H) thymidin menjadi DNA menurun. Kerusakan ini dapat dinormalkan
dengan terapi besi. Anak-anak yang menderita defisiensi besi menyebabkan
persentase limfosit T menurun, dan keadaan ini dapat diperbaiki dengan
suplementasi besi.
5.
Terhadap
kemampuan intelektual
Telah banyak penelitian dilakukan mengenai hubungan
antara keadaan kurang besi dan dengan uji kognitif. Walaupun ada beberapa
penelitian mengemukakan bahwa defisiensi besi kurang nyata hubungannya dengan
kemunduran intelektual tetapi banyak penelitian membuktikan bahwa defisiensi
besi mempengaruhi pemusnahan perhatian (atensi), kecerdasan (IQ), dan prestasi
belajar di sekolah. Denganl memberikan intervensi besi maka nilai kognitif
tersebut naik secara nyata.
b. Anak
Anemia gizi besi yang terjadi pada anak-anak, baik
balita maupun usia sekolah, akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya.
Anak menjadi lemah karena sering terkena infeksi akibat pertahanan tubuhnya
menurun. Dalam kegiatan sehari-hari anak menjadi tidak aktif, malas, cepat
lelah, dan di sekolah sulit berkonsentrasi dalam belajar, serta cepat
mengantuk. Akibat lanjutnya akan mempengaruhi kecerdasan dan daya tangkap anak.
Di Indonesia telah dilakukan uji kognitif untuk
melihat pengaruh defisiensi besi terhadap kecerdasan. Pada awalnya, anak yang
menderita anemia gizi besi mempunyai skor kognitif yang rendah dibandingkan
dengan anak yang normal. Setelah diberi preparat besi, status besi anak yang
tadinya defisiensi menjadi normal, dan terdapat kenaikan skor kognitif yang
cukup berarti.
Uji prestasi belajar juga dilakukan untuk melihat
pengaruh pemberian suplemen besi terhadap anak yang mengalami defisiensi besi.
Ternyata setelah diberi zat besi, prestasi belajar anak yang tadinya menderita
anemia zat besi dapat ditingkatkan seiring dengan membaiknya status besi anak.
Pemberian zat besi kepada anak dapat membantu meningkatkan kemampuan
berkonsentrasi, logika berpikir, dan daya tangkap terhadap pelajaran yang
diberikan. Untuk memperoleh prestasi belajar yang baik kebutuhan zat besi anak
harus diperhatikan
Anak yang menderita anemia digambarkan sebagai
apatis, mudah tersinggung dan kurang memperhatikan sekelilingnya. Kurang zat
besi mempunyai hubungan dengan enzim aldehid-oksidase di dalam otak yang
mengakibatkan menurunnya kemampuan memperhatikan sesuatu. Anemia juga
menyebabkan daya ingat dan daya konsentrasi menjadi rendah (Ristrini 1991,
dikutip dalam Citrakesumasari 2012).
c. Remaja
Anemia mempunyai dampak yang merugikan bagi
kesehatan anak berupa gangguan tumbuh kembang, penurunan daya tahan tubuh dan
daya konsentrasi, serta penurunan kemampuan belajar, sehingga menurunkan
prestasi belajar sekolah.
Anemia tidak menular, tetapi tetap berbahaya. Remaja
berisiko tinggi menderita anemia, khususnya kurang zat besi karena remaja
mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam pertumbuhan, tubuh membutuhkan
nutrisi dalam jumlah banyak, dan di antaranya adalah zat besi. Bila zat besi
yang dipakai untuk pertumbuhan kurang dari yang diproduksi tubuh, maka
terjadilah anemia.
d. Dewasa
Pengaruh buruk anemia gizi besi lainnya adalah
menurunnya produktivitas kerja, terutama pada pekerja wanita. Pekerja wanita
lebih rawan anemia gizi karena wanita mengalami menstruasi tiap bulan.
Kurangnya zat besi menyebabkan cepat lelah dan lesu sehingga kapasitas kerja
berkurang dan akhirnya produktivitas kerja menurun yang akan berdampak lebih
jauh pada berkurangnya upah yang diterima sehingga menyebabkan rendahnya
tingkat ekonomi. Penelitian yang pernah diadakan untuk melihat sejauh mana
pengaruh anemia gizi besi terhadap produktivitas kerja, yang dilakukan terhadap
buruh, penyadap karet, maupun pemetik teh, ternyata setelah diberi suplemen zat
besi, Hb pekerja naik secara nyata dan terjadi peningkatan produktivitas
dibanding sebelum pemberian suplemen.
e. Ibu Hamil
Pada wanita hamil, anemia meningkatkan frekuensi
komplikasi pada kehamilan dan persalinan. Risiko kematian maternal, angka
prematuritas, berat badan bayi lahir rendah, dan angka kematian perinatal
meningkat. Di samping itu, perdarahan antepartum dan postpartum lebih sering
dijumpai pada wanita yang anemis dan lebih sering berakibat fatal, sebab wanita
yang anemia tidak dapat mentolerir kehilangan darah. Dampak anemia pada
kehamilan bervariasi dari keluhan yang sangat ringan hingga terjadinya gangguan
kelangsungan kehamilan abortus, partus imatur/prematur), gangguan proses
persalinan (inertia, atonia, partus lama, perdarahan atonis), gangguan pada
masa nifas (subinvolusi rahim, daya tahan terhadap infeksi dan stres kurang,
produksi ASI rendah), dan gangguan pada janin (abortus, dismaturitas,
mikrosomi, BBLR, kematian perinatal, dan lain-lain)
f. Manula
Anemia pada usia lanjut terkadang terabaikan karena
gejalanya seringkali tidak sejelas anemia pada usia produktif. Gejala anemia
yang khas seperti cepat lelah, merasa lemas, ataupun sesak nafas seringkali
dianggap disebabkan oleh usia yang lanjut dan kemampuan fisik yang memang sudah
menurun.
Anemia kerap menjadi faktor pemberat pada penyakit
yang diderita oleh kaum usia lanjut. Kondisi gagal jantung, gangguan kognitif,
dan gangguan keseimbangan akan menjadi lebih berat karena anemia yang diderita.
Namun, jika tidak diperiksa dengan teliti, keadaan memberatnya penyakit dasar
seseorang seringkali dianggap disebabkan oleh hal lain dan bukan anemia.
Penelitian pada kaum lanjut usia menunjukkan bahwa
penyebab tersering anemia pada kaum usia lanjut adalah anemia akibat penyakit
kronik dan defisiensi besi.
Penyebab anemia pada kaum usia lanjut dapat dilihat
pada Tabel 1.4. Namun lebih dari dua pertiga kasus anemia pada lanjut usia
disebabkan oleh dua hal dasar.
Kaum lanjut usia
biasanya memiliki fungsi organ yang berkurang dan memiliki berbagai penyakit
kronik. Tak heran, anemia akibat penyakit kronik menduduki peringkat nomor
satu. Pada penderita penyakit kronik seperti kanker, penyakit ginjal, atau
penyakit hati, tubuh tidak mampu menggunakan cadangan besi untuk membentuk sel
darah merah. Namun berbeda dengan anemia akibat kekurangan zat besi di mana
cadangan besi ikut berkurang, pada penyakit kronik, anemia tetap terjadi
walaupun tubuh memiliki cadangan besi yang cukup atau bahkan berlebihan.
6. Pencegahan
dan Penanggulangan Anemia Gizi Besi di Indonesia
Dampak yang ditimbulkan akibat anemia gizi besi sangat kompleks.
Anemia zat besi berdampak pada menurunnya kemampuan motoric anak, menurunnya
skor iq, menurunnya kemampuan kognitif, menurunya kemampuan mental anak, menurunnya
produktivitas kerja pada orang dewasa, yang akhirnyaberdampak pada ekonomi, dan
pada wanita hamil akan menyebabkan burukmya persalinan, berat bayi lahir
rendah, bayi lahir premature, serta dampak negative lainnya seperti komplikasi
kehamilan dan kelahiran. Akibat lainnya dari anemia zat besi adalah gangguan
pertumbuhan imunitas serta rentan terhadap pengaruh racun dari logam-logam
berat (Citrakesumasari, 2012).
Anemia gizi besi akan
menurunkan produktivitas kerja, selain disebabkan oleh menurunnya hemoglobin
darah, juga disebabkan oleh berkuragnya enzim-enzim mengandung besi, dimana
sebagai kofaktornenzim-enzim yang terlibat dalam metabolisme energy tersebut (Citrakesumasari, 2012).
Pengaruh buruk anemia gizi besi lainnya adalah menurunnya
produktivitas kerja, terutama pada pekerja wanita. Pekerja wanita lebih rawan
anemia gizi karena wanita mengalami menstruasi tiap bulan. Kurangnya zat besi
menyebabkan cepat lelah dan lesu sehingga kapasitas kerja berkurang dan
akhirnya produktivitas kerja menurun yang akan berdampak lebih jauh pada
berkurangnya upah yang diterima sehingga menyebabkan rendahnya tingkat ekonomi.
Penelitian yang pernah diadakan untuk melihat sejauh mana pengaruh anemia gizi
besi terhadap produktivitas kerja, yang dilakukan terhadap buruh, penyadap
karet, maupun pemetik teh, ternyata setelah diberi suplemen zat besi, hb
pekerja naik secara nyata dan terjadi peningkatan produktivitas dibanding
sebelum pemberian suplemen
(Citrakesumasari, 2012).
a. Pencegahan
Upaya pencegahan dan penanggulangan anemia pada dasarnya adalah
mengatasi penyebabnya (Barker 2012, dikutip dalam Kemenkes 2016 ). Pada anemia berat (kadar Hb <8g%) biasanya
terdapat penyakit yang melatar belakangi yaitu antara lain penyakit TBC,
infeksi cacing atau malaria, sehingga selain penanggulangan pada anemia harus
dilakukan pengobatan terhadap penyakit –penyakit tersebut, adapun yang harus
dilakukan dalam pencegahan anemia yaitu :
1. Meningkatkan asupan makanan sumber zat besi
Meningkatkan asupan makanan
sumber zat besi dengan pola makan bergizi seimbang, yang terdiri dari aneka
ragam makanan, terutama sumber pangan hewani yang kaya zat besi (besi heme)
dalam jumlah yang cukup sesuai dengan AKG (Barker 2012, dikutip dalam Kemenkes
2016 ).
2. Fortifikasi bahan makanan dengan zat besi
Fortifikasi bahan makanan yaitu menambahkan
satu atau lebih zat gizi kedalam pangan untuk meningkatkan nilai gizi pada
pangan tersebut. Penambahan zat gizi dilakukan pada industri pangan, untuk itu
disarankan membaca label kemasan untuk mengetahui apakah bahan makanan tersebut
sudah difortifikasi dengan zat besi (Barker 2012, dikutip dalam Kemenkes 2016
).
3. Suplementasi zat besi
Pada keadaan dimana zat besi
dari makanan tidak mencukupi kebutuhan terhadap zat besi, perlu didapat dari
suplementasi zat besi. Pemberian suplementasi zat besi secara rutin selama
jangka waktu tertentu bertujuan untuk meningkatkan kadar hemoglobin secara
cepat, dan perlu dilanjutkan untuk meningkatkan simpanan zat besi di dalam
tubuh (Barker 2012, dikutip dalam Kemenkes 2016 ).
Adapun makanan yang dianjurkan dalam
penyakit anemia (Februhartanty 2002, dikutip dalam kemenkes 2016,).yaitu:
a. Makanan
yang kaya sumber zat besi dari hewani contohnya hati, ikan, daging dan unggas, sedangkan dari nabati yaitu sayuran
berwarna hijau tua dan kacang-kacangan. Untuk meningkatkan penyerapan zat besi
dari sumber nabati perlu mengonsumsi buah-buahan yang mengandung vitamin C,
seperti jeruk, jambu (Februhartanty
2002, dikutip dalam kemenkes 2016,).
b. Penyerapan
zat besi dapat dihambat oleh zat lain, seperti tanin, fosfor, serat, kalsium,
dan fitat. Makanan yang sudah difortifikasi di Indonesia antara lain tepung
terigu Zat besi dan vitamin mineral lain juga dapat ditambahkan dalam makanan
yang disajikan di rumah tangga dengan bubuk tabur gizi atau dikenal juga dengan
Multiple Micronutrient Powder
Adapun makanan yang tidak dianjurkan
pada orang yang menderita anemia adalah mengurangi mengkonsumsi junk food
dan fast food, serta mengurangi
mengkonsumsi teh kemasan eh merupakan minuman yang mengandung tanin yang dapat
menurunkan penyerapan besi non heme dengan membentuk ikatan komplek yang tidak
dapat diserap.10 Konsumsi 1 cangkir teh sehari dapat menurunkan absorbsi Fe
sebanyak 49% pada penderita anemia defisiensi besi, sedangkan mengkonsumsi 2
cangkir teh sehari menurunkan absorbsi Fe sebesar 67% pada penderita anemia
defisiensi Fe dan 66% pada kelompok kontrol. Teh yang dikonsumsi setelah makan
hingga 1 jam akan mengurangi daya serap sel darah merah terhadap zat besi
sebesar 64% (WHO 2010, dikutip dalam (F. Sari, Ananti, & Tombokan, 2017).
b. Penanggulangan
Upaya penanggulangan anemia gizi besi pada ibu hamil dilakukan
melalui peningkatan cakupan suplementasi tablet besi. Upaya lain yang dapat
dilakukan dengan memperhatikan pola konsumsi ibu hamil yang harus tetap mengacu
pada pola makan sehat dan seimbang yang terdapat dalam pesan umum gizi seimbang
(PUGS). Pengaturan makan pada ibu hamil bukan pada jumlah atau kuantitas
melainkan pada kualitas atau komposisi zat-zat gizi, sebab faktor ini lebih
efektif dan fungsional untuk kesehatan ibu dan janinnya. Misalnya untuk
meningkatkan konsumsi bahan makanan tinggi besi seperti susu, daging, dan
sayuran hijau atau buah (Haryanto, 2002 dikutip dalam(F. Sari et al., 2017).
Sesuai rekomendasi WHO Tahun 2011, upaya penanggulangan anemia
pada rematri dan WUS difokuskan pada kegiatan promosi dan pencegahan, yaitu
peningkatan konsumsi makanan kaya zat besi, suplementasi TTD, serta peningkatan
fortifikasi bahan pangan dengan zat besi dan asam folat. Organisasi profesi dan
sektor swasta diharapkan dapat berkontribusi mendukung kegiatan komprehensif
Promotif dan Preventif untuk menurunkan prevalensi anemia pada rematri dan WUS.
Pedoman ini disusun sebagai acuan dalam melaksanakan keterpaduan diantara
program kesehatan dan gizi, serta dapat memberikan wawasan bagi pemegang
program lintas sektor dalam mengimplementasikan kegiatan seperti ketahanan
pangan keluarga, Keluarga Berencana dan pemberdayaan perempuan, pola asuh ibu
dan anak,penyediaan air bersih, pemukiman dan sanitasi lingkungan. Iii Pedoman
ini menjadi panduan bagi pemangku kebijakan dan pelaksana program pada
fasilitas pelayanan kesehatan, SMP/ SMA/sekolah sederajat lainnya dan
pesantren, Kantor Urusan Agama (KUA) / tempat ibadah lainnya, tempat kerja, LSM
dan institusi terkait di Tingkat Kabupaten dan Kota. Pedoman ini terdiri dari 2
bagian. Bagian Imemuat tentang kajian akademis terkait pencegahan dan
penanggulangan anemia pada rematri dan WUS. Bagian II memuat tentang manajemen
pencegahan dan penanggulangan anemia pada rematri dan WUS (Kemenkes, 2016).
Daftar Pustaka:
Aulia, G. Y., Udiyono, A., Saraswati, L. D., Adi, M. S.,
Epidemiologi, B., & Masyarakat, F. K. (2017). No Title, 5, 193–200.
Paendong, F. T., Suparman, E., Prof, R., & Manado, R. D.
K. (2016). Profil zat besi ( Fe ) pada ibu hamil dengan anemia di Puskesmas
Bahu Manado, 4.
Parepare, U. M. (2018). POLA MAKAN DAN KEJADIAN ANEMIA PADA
MAHASISWI YANG TINGGAL DI KOS-KOSAN Eating Pattern and Anemia Events in
Students Staying in Boarding House Ayu Dwi Putri Rusman Fakultas Ilmu Kesehatan
, Universitas Muhammadiyah Parepare, 1(1).
Parulian, I., Roosleyn, T., Tinggi, S., Kesehatan, I., &
Widya, J. I. (2016). Strategi dalam penanggulangan pencegahan anemia pada
kehamilan, 3.
Putri, R. D., & Simanjuntak, B. Y. (2015). Pengetahuan
Gizi , Pola Makan , dan Kepatuhan Konsumsi Tablet Tambah Darah dengan Kejadian
Anemia Remaja Putri, 404–409.
Sari, F., Ananti, Y., & Tombokan, E. I. (2017). JoH
Volume 4 Nomor 1 Januari 2017 JoH Volume 4 Nomor 1 Januari 2017, 4.
Sari, H. P., Dardjito, E., Anandari, D., Kesehatan, F. I.,
& Jenderal, U. (n.d.). DI WILAYAH KABUPATEN BANYUMAS IRON DEFICIENCY ANEMIA
AMONG ADOLESCENT IN BANYUMAS Prodi Ilmu Gizi , 2-3 ) Jurusan Kesehatan
Masyarakat PENDAHULUAN Anemia gizi defisiensi besi merupakan anemia yang paling
sering terjadi di Hasil Riskesdas 2013 menunjukan bahwa remaja putri mengalami
Hesti P , Anemia Gizi Besi Pada Remaja Putri anemia gizi besi . Hal ini
menunjukan bahwa anemia gizi besi pada remaja sampai saat permasalahan karena
ini gizi masih di menjadi Indonesia pantangan terhadap makanan . Bila asupan
makanan kurang maka cadangan besi banyak yang dipecah untuk Keadaan memenuhi
seperti ini dapat persentasenya Riskesdas , 2013 ; Minarto , 2011 ). Anemia
gizi besi adalah keadaan di mana terjadi penurunan jumlah mempercepat
terjadinya anemia gizi besi ( Webster , 2012 ). Anemia gizi besi dikalangan
remaja jika tidak tertangani dengan baik akan berlanjut hingga dewasa dan
berkontribusi besar terhadap angka kematian ibu , bayi lahir prematur , dan
bayi dengan berat lahir massa eritrosit ( red cell mass ) yang ditunjukkan oleh
penurunan kadar hemoglobin , hematokrit , dan hitung Remaja putri merupakan
rendah . Selain itu , anemia gizi besi dapat menyebabkan belajar lekas lelah ,
salah satu kelompok yang rawan menderita anemia gizi besi karena mempunyai
kebutuhan zat besi yang tinggi untuk pertumbuhan kehilangan dan akibat
konsentrasi menurun sehingga prestasi belajar rendah dan dapat menurunkan
produktivitas peningkatan kerja .( Spear , 2000 ) Sebuah penelitian menstruasi
. Penelitian menunjukan bahwa 27 % anak perempuan usia 11- 18 tahun tidak
memenuhi kebutuhan zat besinya sedangkan anak laki-laki hanya 4 %, hal ini
menunjukan bahwa remaja putri lebih rawan untuk mengalami defisiensi zat gizi .
Selain itu , remaja putri biasanya sangat memperhatikan bentuk tubuh , yang
berdomisili anemia remaja di perdesaan gizi besi , menderita sedangkan sebesar
perkotaan dan ( Permaesih Susilowati , 2005 ). Angka tersebut tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan , meskipun menurut Hu et al ( 2014 ) wilayah
perkotaan dan perdesaan berpengaruh terhadap sehingga banyak yang membatasi
konsumsi makanan dan, 16–31.
Citrakesumasari. 2012. Anemia Gizi, Masalah dan Pencegahannya.
Kalika. Yogyakarta.
Kemenkes
RI. 2016. Pedoman Pencegahan dan
Penanggulangan Anemia Pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur (WUS).
Jakarta.
Widyaskara, 2012, Gambaran Hematologi Anemia
Defisiensi Besi pada Anak, Vol. 13, No. 5, Surabaya
0 Komentar