Mekanisme Penularan Penyakit Filariasis Atau kaki Gajah
Di
dalam tubuh nyamuk, mikrofilaria berselubung (yang didapatkannya ketika
menggigit penderita filariasis), akan melepaskan selubung tubuhnya yang
kemudian bergerak menembus perut tengah lalu berpindah tempat menuju otot dada
nyamuk. Larva ini disebut larva stadium I (L1). L1 kemudian berkembang hingga
menjadi L3 yang membutuhkan waktu 12–14 hari. L3 kemudian bergerak menuju
probisis nyamuk. Ketika nyamuk yang mengandung L3 tersebut menggigit manusia,
maka terjadi infeksi mikrofilaria dalam tubuh orang tersebut. Setelah tertular
L3, pada tahap selanjutnya di dalam tubuh manusia, L3 memasuki pembuluh limfe
dimana L3 akan tumbuh menjadi cacing dewasa, dan berkembang biak menghasilkan
mikrofilaria baru sehingga bertambah banyak. Kumpulan cacing filaria dewasa ini
menjadi penyebab penyumbatan pembuluh limfe. Aliran sekresi kelenjar limfe
menjadi terhambat dan menumpuk disuatu lokasi. Akibatnya terjadi pembengkakan
kelenjar limfe terutama pada daerah kaki, lengan maupun alat kelamin yang
biasanya disertai infeksi sekunder dengan fungi dan bakteri karena kurang
terawatnya bagian lipatan-lipatan kulit yang mengalami pembengkakan tersebut.
Penularan filariasis
dapat terjadi bila ada tiga unsur, yaitu:
1. Sumber penularan, yakni manusia atau hospes reservoir yang mengandung
mikrofilaria dalam darahnya. Pada dasarnya setiap orang dapat tertular
filariasis apabila digigit oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3).
Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan
gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis (silent
infection). Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi
filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis.
Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis
biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya.
Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir).
Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B.
malayi tipe sub periodik nokturna dan non periodik yang ditemukan pada
lutung (Presbytis cristatus), kera (Macaca fascicularis) dan
kucing (Felis catus) (Depkes RI, 2008).
2. Vektor, yakni nyamuk yang dapat menularkan filariasis. Di
Indonesia hingga saat ini telah teridentifikasi 23 spesies nyamuk dari 5 genus,
yaitu Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang
menjadi vektor filariasis. Sepuluh nyamuk Anopheles diidentifikasi
sebagai vektor W. Bancrofti tipe pedesaan. Culex quinquefasciatus merupakan
vektor W. bancrofti tipe perkotaan.
3. Manusia yang rentan terhadap filariasis. Seseorang dapat tertular
filariasis, apabila orang tersebut mendapat gigitan nyamuk infektif, yaitu
nyamuk yang mengandung larva infektif (larva stadium 3 = L3). Perilaku dan
kebiasaan manusia dapat mempermudah penularan filariasis. Aktivitas pada malam
hari dengan beragam kegiatan seperti meronda, tidak menggunakan pakaian panjang
atau obat nyamuk dapat memperbesar risiko tertular filariasis (Febrianto,
2008). Berdasarkan hasil penelitian dari Ardias (2012) membuktikan bahwa
kebiasaan keluar rumah pada malam hari berisiko menderita filariasis dan
berdasarkan penelitian Nasrin (2007), melakukan pekerjaan pada jam-jam nyamuk
mencari darah juga meningkatkan risiko tertular filariasis.
Jika nyamuk infektif menggigit manusia, maka larva L3 akan keluar
dari probosis dan tinggal dikulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Pada saat
nyamuk menarik probosisnya, larva L3 akan masuk melalui luka bekas gigitan
nyamuk dan bergerak menuju ke sistem limfe. Berbeda dengan penularan pada
malaria dan demam berdarah, cara penularan tersebut menyebabkan tidak mudahnya
penularan filariasis dari satu orang ke orang lain pada suatu wilayah tertentu,
sehingga dapat dikatakan bahwa seseorang dapat terinfeksi filariasis apabila
orang tersebut mendapat gigitan nyamuk ribuan kali.
Larva L3 B. Malayi dan B. Timori akan menjadi cacing
dewasa dalam kurun waktu kurang lebih 3,5 bulan, sedangkan W. bancrofti memerlukan
waktu kurang lebih 9 bulan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup selama 5–7 tahun
di dalam kelenjar getah bening. Hal ini menunjukkan bahwa sulit terjadi
penularan filariasis dari nyamuk ke manusia. Disamping itu, kemampuan nyamuk
untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung
mikrofilaria juga sangat terbatas. Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu
banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika mikrofilaria yang terhisap terlalu
sedikit dapat memperkecil jumlah mikrofilaria stadium larva L3 yang akan
ditularkan. Kepadatan vektor, suhu, dan kelembaban sangat berpengaruh terhadap
penularan filariasis. Suhu dan kelembaban dipengaruhi oleh kondisi meteorologi.
Banyak spesies yang bersifat musiman, dengan puncak kepadatan
nyamuk dewasa pada pertengahan musim panas dan tidak ada ada musim dingin,
sedangkan di negara tropis bisa bersifat aktif sepanjang tahun.Suhu dan
kelembaban menguntungkan pertahanan hidup nyamuk dewasa untuk menjadi padat
(Achmadi, 2012). Suhu dan kelembaban sangat berpengaruh umur nyamuk, sehingga
mikrofilaria yang telah ada dalam tubuh nyamuk tidak memiliki cukup waktu untuk
berkembang menjadi larva infektif (masa inkubasi ekstrinsik dari parasit). Masa
inkubasi ekstrinsik untuk W. bancrofti antara 10-14 hari, sedangkan B.
malayi dan B. timori antara 8-10 hari. Curah hujan dan kecepatan
arah angin serta suhu lingkungan harus diperhatikan karena bisa berperan dalam
perkembangbiakan nyamuk di wilayah perkotaan. Namun, kecepatan dan arah angin
bukan merupakan pengukuran yang utama. Pengukuran pada ketinggian tanah (2-10
m) dapat membantu menjelaskan mengapa spesies tertentu terkumpul pada daerah
yang jauh dari tempat perkembangbiakan.
Selain
itu, periodisitas mikrofilaria dan perilaku menggigit nyamuk berpengaruh
terhadap risiko penularan. Di Indonesia filariasis dapat ditularkan oleh
berbagai spesies nyamuk, yang hidup aktif pada waktu siang atau malam hari.
Sesuai dengan ditemukannya mikrofilaria di dalam darah tepi, dikenal
periodiknokturnal, subperiodik diurnal dan subperiodik nocturnal.
a. Periodik
nokturnal (nocturnal periodic): mikrofilaria hanya ditemukan di dalam
darah pada waktu malam hari.
b. Subperiodik
diurnal (diurnal subperiodic): mikrofilaria terutama dijumpai siang
hari, jarang ditemukan malam hari.
c. Subperiodik
nokturnal (nocturnal subperiodik): mikrofilaria terutama dijumpai malam
hari, jarang ditemukan siang hari.
0 Komentar