Epidemiologi Frambusia
Prevalensi frambusia
secara global menurun drastis setelah dilakukan kampanye pengobatan dengan
penisilin secara masal pada tahun 1950-an dan 1960-an sehingga menekan
peningkatan kasus frambusia, namun kasus frambusia mulai ditemukan lagi di
sebagian besar daerah khatulistiwa Afrika Barat dengan penyebaran infeksi tetap
berfokus di daerah Amerika Latin, Kepulauan Karibia, India dan Thailand Asia
Tenggara dan Kepulauan Pasifik Selatan, Papua New Guinea, kasus frambusia
selalu berubah sesuai dengan perubahan iklim.
Penurunan prevalensi
Frambusia secara bermakna terjadi pada tahun 1985 sampai pada tahun 1995 dengan
prevalensi rate frambusia turun secara dramatis dari 22,1 (2210 per 10.000
penduduk) menjadi kurang dari 1 per 10.000 penduduk di daerah kabupaten dan
propinsi, strategi pencapaian target secara nasional Departemen Kesehatan yaitu
jumlah frambusia kurang dari 0,1 kasus per 100.000 penduduk di Wilayah Jawa dan
Sumatera, lebih dari 1 kasus per 100.000
penduduk di Wilayah Indonesia Timur (Papua, Maluku, NTT dan Sulawesi). Untuk
menjangkau daerah-daerah kantong frambusia yang jumlahnya tersebar di beberapa
Propinsi dan beberapa Kabupaten di Indonesia maka dilakukan survey daerah
kantong frambusia yang dimulai tahun 2000. Propinsi yang masih mempunyai banyak
kantong frambusia diprioritaskan untuk dilakukan sero survei, yaitu NAD, Jambi,
Jawa Timur, Banten, Sulawesi Tenggara dan NTT. Hal ini di pengaruhi oleh 3
faktor yang penting, yaitu faktor host (manusia), agent (vector) dan
environtment (lingkungan) termasuk di dalam faktor host yaitu pengetahuan, sikap dan perilaku perorangan.
1.
Agent
Penyebab penyakit
frambusia adalahTreponema pallidum, subspesies pertenue dari spirochaeta. Framboesia berdasarkan karakteristik Agen :
a.
Infektivitas
dibuktikan dengan kemampuan sang Agen untuk berkembang biak di dalam jaringan
penjamu.
b.
Patogenesitas
dibuktikan dengan perubahan fisik tubuh yaitu terbentuknya benjolan-benjolan
kecil di kulit yang tidak sakit dengan permukaan basah tanpa nanah.
c.
Virulensi
penyakit ini bisa bersifat kronik apabila tidak diobati, dan akan menyerang dan
merusak kulit, otot serta persendian sehingga menjadi cacat seumur hidup. Pada
10% kasus frambusia, tanda-tanda stadium lanjut ditandai dengan lesi yang
merusak susunan kulit yang juga mengenai otot dan persendian.
d.
Toksisitas
yaitu dibuktikan dengan kemampuan Agen untuk merusak jaringan kulit dalam tubuh
penjamu.
e.
Invasitas
dibuktikan dengan dapat menularnya penyakit antara penjamu yang satu dengan
yang lainnya.
f.
Antigenisitas
yaitu sebelum menimbulkan gejala awal Agen mampu merusak antibody yang ada di
dalam sang penjamu.
2.
Host
Manusia dan mungkin
Primata kelas tinggi. Sangat berpeluang tertular penyakit ini. Ditemukan pada
anak-anak umur antara 2–15 tahun lebih sering pada laki-laki.
3.
Environment
a.
Lingkungan
Fisik:
Di daerah tropis di
pedesaan yang panas dan lembab. Di daerah endemik frambusia prevalensi infeksi
meningkat selama musim hujan. Menurut WHO (2006) bahwa kasus frambusia di
Indonesia pada tahun 1949 meliputi NAD, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Jawa
(Jawa Timur) dan sebagian besar Wilayah Timur Indonesia yang meliputi Nusa
Tenggara, Sulawesi, Maluku dan Papua.
b.
Lingkungan
social ekonomi:
Kepadatan penduduk,
kurangnya persediaan air bersih, dan keadaan sanitasi serta kebersihan yang
buruk, baik perorangan maupun pemukiman. Kurangnya fasilitas kesehatan umum
yang memadai dan kontak langsung dengan kulit penderita penyakit Framboesia. Pengetahuan
masyarakat tentang penyakit ini masih kurang karena ada anggapan salah bahwa
penyakit ini merupakan hal biasa dialami karena sifatnya yang tidak menimbulkan
rasa sakit pada penderita.
0 Komentar