MAKALAH
SURVEILANS EPIDEMIOLOG DBD
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kita panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Berikut ini makalah dengan judul "surveilans epidemiologi DBD", yang memenurut kami dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita semua untuk mengetahui bahaya penyakit ini. Melalui kata pengantar ini kami terlebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang kami buat kurang tepat.
Kami mengucapkan terima kasih kepada para pembaca yang meluangkan waktunya dan berharap makalah ini dapat menjadi inspirasi yang dapat menanbah wawasan serta dapat membantu proses pembuatan makalah bagi generasi selanjutnya. Dengan ini kami mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.
Kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk para pembaca.
DAFTAR ISI :
KATA PENGANTAR..........
DAFTAR ISI......................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG.........................1
1.2 RUMUSAN MASALAH............................................2
1.3 TUJUAN.........................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TINJUAN UMUM TENTANG SURVEILANS EPIDEMIOLOGI PENYAKIT............................................3
2.2 TINJUAN UMUM TENTANG DBD....................................................4
2.3 TINJAUAN UMUM TENTANG SURVEILANS DBD...........................11
BAB III METODE SURVEILANS
3.1 JENIS SURVEILANS..............................................................................15
3.2 METODE PENGUMPULAN DATA........................................................15
3.3 JUMLAH POPULASI DAN SAMPEL......................................................15
BAB IV PEMBAHASAAN
4.1 HASIL....................................................................................................16
4.2 PEMBAHASAAN.................................................................................18
BAB V PENUTUP
5.1 KESIMPULAN.....................................................................................24
5.2 SARAN..................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................26
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan jenis penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan secara nasional, hampir diseluruh daerah Indonesia memiliki angka morbiditas dan mortalitas penyakit DBD. DBD adalah jenis penyakit menular yang disebabkan oleh virus yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes Agypti yang ditandai dengan penurunan trombosit darah, dan penurunan kondisi biologis lainnya.
Word Health Organization (1995) populasi di dunia diperkirakan berisiko terhadap penyakit DBD mencapai 2,5-3 miliar terutama yang tinggal di daerah perkotaan di negara tropis dan subtropis. Saat ini juga diperkirakan ada 50 juta infeksi dengue yang terjadi diseluruh dunia setiap tahun. Diperkirakan untuk Asia Tenggara terdapat 100 juta kasus demam dengue (DD) dan 500.000 kasus DHF yang memerlukan perawatan di rumah sakit, dan 90% penderitanya adalah anak-anak yang berusia kurang dari 15 tahun dan jumlah kematian oleh penyakit DHF mencapai 5% dengan perkiraan 25.000 kematian setiap tahunnya (WHO, 2012).
Data dari seluruh dunia menunjukkan Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD setiap tahunnya. Sementara itu, terhitung sejak tahun 1968 hingga 2009, WHO mencatat negara Indonesia sebagai negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara dan tertinggi nomor dua di dunia setelah Thailand (Depkes, 2010).
Menurut Kementerian Kesehatan RI (2010), program pencegahan dan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua, dan tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (Case Fatality Rate sebesar 0,80%). Berdasarkan Laporan Kementerian Kesehatan RI (2012), di ketahui angka kematian akibat DBD di beberapa wilayah masih cukup tinggi yaitu di atas 1% antara lain Provinsi Gorontalo, Riau, Sulawesi Utara Bengkulu, Lampung, NTT, Jambi, Jawa Timur, Sumatra Utara dan Sulawesi Tengah.
Kasus DBD di Sulawesi Selatan pada tahun 2011 kategori tinggi pada Kabupaten Bulukumba, Gowa, Maros, Bone dan Luwu (130-361 kasus). Sedangkan terendah pada Kabupaten/Kota yaitu Selayar, Sinjai, dan Tana Toraja (0-9 kasus) dan Kabupatenyang tidak terdapat kasus DBD yaitu Kabupaten Bantaeng.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Lau, Kabupaten Maros terdapat penderita demam berdarah sebanyak 30 orang dengan berjenis kelamin laki-laki sebanyak 17 orang dan perempuan sebanyak 13 orang.
1.1 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Surveilans Demam Berdarah Dengue (DBD)?
2. Apa Dasar-Dasar Hukum Surveilans?
3. Bagaimana Bentuk-Bentuk Surveilans?
4. Bagaimana cara Pencegahan penyakit DBD?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengertian surveilans demam berdarah bengue (DBD)
2. Mengetahui dasar-dasar hukum surveilans
3. Mengetahui ciri-ciri dari surveilans
4. Mengetahui pencegahan penyakit DBD
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Tinjuan Umum Tentang Surveilans Epidemiologi Penyakit
A. Definisi Surveilans pidemiologi
Istilah surveilans berasal dari bahasa Prancis, yaitu “surveillance”, yang berarti “mengamati tentang sesuatu”.Meskipun konsep surveilans telah berkembang cukup lama, tetapi seringkali timbul kerancuan dengan kata “surveillance” dalam bahasa Inggris, yang berarti “mengawasi perorangan yang sedang dicurigai”. Menurut center of disease control (CDC) surveilans adalah pengumpulan, analaisis, dan interprestasi data kesehatan secara sistematis dan terus-menerus, implemntasi dan evaluasi upaya kesehatan masayrakat. Selain itu kegiatan ini dipadukan dengan disemansi data secara tepat waktu kepada pihak-pihak yang perlu mengetahuinya. ( dedialamsyah. 2013).
B. Definisi Surveilans
Surveilans epidemiologi adalah kegiatan analisis yang dilakukan secara sistematis dan terus-menerus terhadap masalah kesehatan agar dapat dilakukan upaya penanggulangan yang efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan data, interpretasi data dan penyebarluasan informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan.
C. Bentuk-bentuk Surveilans
Terdapat lima bentuk dari surveilans yaitu sebagai berikut :
1. Surveilans pasif, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan sarana pelayanan di daerah.
2. Surveilans aktif, yaitu pengumpulan data yang dilakukan secara langsung untuk mempelajari penyakit tertentu dalam waktu yang relatif singkat dan dilakukan oleh petugas kesehatan secara teratur seminggu sekali atau dua minggu sekali untuk mencatat ada atau tidaknya kasus baru penyakit tertentu.
3. Surveilans menyeluruh, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dalam batas waktu tertentu diberbagai bidang agar dapat mewakili populasi yang diteliti dalam sebuah negara.
4. Surveilans sentinel, yaitu pengumpulan data yang dilakukan terbatas pada bidang-bidang tertentu. Survei ini tidak dapat digunakan dalam sebuah populasi karena dianggap tidak mewakili sebuah kelompok populasi, akan tetapi dapat digunakan untuk memonitor tren penyakit dan dalam mengumpulkan informasi yang lebih terperinci.
5. Surveilans berdasarkan kondisi masyarakat, sarana dan prasarana serta laboratorium kesehatan termasuk pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat, fasilitas kesehatan dan laboratorium secara berturut-turut.
D. Tujuan Surveilans Epidemiologi
Tujuan surveilans epidemiologi adalah tersedianya data dan informasi epidemiologi sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi program dan peningkatan Sistem Kewaspadaan Dini (SKD).
2.2 Tinjuan Umum Tentang Dbd
A. Pengertian Demam Berdarah Dengue
Menurut Depkes (2005),Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2‐7 hari, manifestasi perdarahan (peteke, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple Leede) positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/l, hemokonsentrasi (peningkatan hemotokrit ≥ 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali).
Penyakit DBD merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di indonesia yang jumlah penderitanya cenderung meningkat dan penyebaranya semakin luas. Penyakit DBD merupakan penyakit menular terutama menyerang anak-anak, (masriadi, 2014)
B. Dasar Hukum DBD
• UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
• Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
• PP Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
• PP Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan pemerintah propinsi sebagai daerah otonom
• Permenkes Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1984 tentang jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah
• Permenkes Nomor 949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang pedoman penyelenggaraan sistem kewaspadaa dini kejadian luar biasa (KLB)
• Permenkes Nomor 356/Menkes/PER/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan
• Kepmenkes Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga
• Kepmenkes Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
• Kepmenkes Nomor/1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
• Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu
C. Faktor Risiko Penularan Demam Berdarah Dengue
Beberapa faktor penularan DBD sebagai berikut:
1. pertumbuhan penduduk perkotaan yang cepat,
2. mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga memungkinkan terjadinya KLB,
3. kemiskinan yang mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang layak dan sehat,
4. pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar,
5. pendidikan dan pekerjaan masyarakat, jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias dan pekarangan.
D. Klasifikasi kasus dan berat penyakit
Sekarang ini disepakati bahwa dengue adalah suatu penyakit yang memiliki presentasi klinis bervariasi dengan perjalanan penyakit dan luaran (outcome) yang tidak dapat diramalkan.
Diterbitkannya panduan World Health Organization (WHO) terbaru di tahun 2009 lalu, merupakan penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu panduan WHO 1997.
Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah:
a. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs),
b. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs), dan
c. Dengue berat (severe Dengue)
E. Kriteria dengue tanpa/dengan tanda bahaya :
1. Dengue probable :
a. Bertempat tinggal di /bepergian ke daerah endemik dengue
b. Demam disertai 2 dari hal berikut :
1) Mual, muntah
2) Ruam
3) Sakit dan nyeri
4) Uji torniket positif
5) Lekopenia
6) Adanya tanda bahaya
c. Tanda bahaya adalah :
1) Nyeri perut atau kelembutannya
2) Muntah berkepanjangan
3) Terdapat akumulasi cairan
4) Perdarahan mukosa
5) Letargi, lemah
6) Pembesaran hati > 2 cm
7) Kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat
8) Dengue dengan konfirmasi laboratorium (penting bila bukti kebocoran plasma tidak jelas)
2. Kriteria dengue berat :
a. Kebocoran plasma berat, yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan distress pernafasan.
b. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan klinisi
c. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT ≥ 1000, gangguan kesadaran, gangguan jantung dan organ lain)
Untuk mengetahui adanya kecenderungan perdarahan dapat dilakukan uji tourniquet, walaupun banyak faktor yang mempengaruhi uji ini tetapi sangat membantu diagnosis, sensitivitas uji ini sebesar 30 % sedangkan spesifisitasnya mencapai 82 %.
F. Gambaran Klinis DBD
Masa inkubasi virus denguedalam manusia (inkubasi intrinsik) berkisar antara 3 sampai 14 hari sebelum gejala muncul, gejala klinis rata-rata muncul pada hari keempat sampai hari ketujuh, sedangkan masa inkubasi ekstrinsik (di dalam tubuh nyamuk) berlangsung sekitar 8-10 hari. Manifestasi klinis mulai dari infeksi tanpa gejala demam, demam dengue (DD) dan DBD, ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari; pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah trombosit ≤ 100 x 109/L dan kebocoran plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh. Tiga tahap presentasi klinis diklasifikasikan sebagai demam, beracun dan pemulihan.
Terdapat 4 tahapan derajat keparahan DBD, yaitu :
a. Derajat I : Dengan tanda terdapat demam disertai gejala tidak khas dan uji torniket + (positif)
b. Derajat II : Yaitu derajat I ditambah ada perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain
c. Derajat III : Ditandai adanya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi (<20 mmHg), hipotensi (sistolik menurun sampai <80 mmHg), sianosis di sekitar mulut, akral dingin, kulit lembab dan pasen tampak gelisah
d. Derajat IV : Ditandai dengan syok berat (profound shock) yaitu nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.
G. Diagnosis DBD
Diagnosis klinis :
Ditandai demam akut, trombositopenia, perdarahan ringan-berat, kebocoran plasma hemokonsentrasi, efusi pleura, hipoalbuminemia.
Diagnosis Laboratorium :
a. Pemeriksaan Hematologi Rutin.
b. Uji virology
c. Uji serologi
Terdapat lima uji serologi dasar yang umum digunakan untuk mendiagnosis infeksi Dengue secara rutin yaitu :
1. Uji hambatan hemaglutinasi (Hemaglutinasi inhibition = HI)
2. Uji Fiksasi komplemen (Complemen fixation = CF)
3. Uji Netralisasi (Neutralization test = NT)
4. IgM Capture enzymelinked immunosorbent assay (MAC ELISA)
5. Indirect lg G ELISA
H. Pencegahan DBD
Usaha pencegahan dan pemberantasan DBD yang telah dilakukan pemerintah, antara lain dengan metode pengasapan (fogging) dan abatisasi. Penyemprotan sebaiknya tidak dipergunakan, kecuali keadaan genting selama terjadi KLB atau wabah.
Upaya yang paling tepat untuk mencegah demam berdarah adalah membasmi jentik-jentiknya ini dengan cara sebagai berikut :
1. Bersihkan ( kuras ) tempat penyimpanan air (seperti bak mandi/WC, drum dll) seminggu sekali.
2. Tutuplah kembali tempayan rapat-rapat setelah mengambil airnya, agar nyamuk Demam berdarah tidak dapat masuk dan bertelur disitu.
3. Gantilah air di vas bunga dan pot tanaman air setiap hari
4. Kubur atau buanglah sampah pada tempatnya, plastik dan barang-barang bekas yang bisa digenangi air hujan
Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin atau sulit dikuras, taburkan bubuk Abate ke dalam genangan air tersebut untuk membunuh jentik-jentik nyamuk. Ulangi hal ini setiap 2-3 bulan sekali atau peliharalah ikan ditempat itu. Takaran penggunaan bubuk Abate adalah sebagai berikut: untuk 10 liter air cukup dengan 1 gram bubuk Abate atau 10 gram untuk 100 liter dan seterusnya. Bila tidak ada alat untuk menakar, gunakan sendok makan. Satu sendok makan peres (yang diratakan di atasnya) berisi 10 gram Abate. Anda tinggal membaginya atau menambahnya sesuai dengan banyaknya air yang akan diabatisasi.Takaran tak perlu tepat betul. (Abate dapat dibeli di apotik-apotik).
I. Epidemiologi DBD
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue (DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS). Dalam 50 tahun terakhir, kasus DBD meningkat 30 kali lipat dengan peningkatan ekspansi geografis ke negara-negara baru dan dalam dekade ini, dari kota ke lokasi pedesaan. Penderitanya banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia. Virus dengue dilaporkan telah menjangkiti lebih dari 100 negara, terutama di daerah perkotaan yang berpenduduk padat dan pemukiman di Brazil dan bagian lain Amerika Selatan, Karibia, Asia Tenggara, dan India. Jumlah orang yang terinfeksi diperkirakan sekitar 50 sampai 100 juta orang, setengahnya dirawat di rumah sakit dan mengakibatkan 22.000 kematian setiap tahun diperkirakan 2,5 miliar orang atau hampir 40 persen populasi dunia, tinggal di daerah endemis DBD yang memungkinkan terinfeksi virus dengue melalui gigitan nyamuk setempat. Jumlah kasus DBD tidak pernah menurun di beberapa daerah tropik dan subtropik bahkan cenderung terus meningkat dan banyak menimbulkan kematian pada anak, 90% di antaranya menyerang anak di bawah 15 tahun. Di Indonesia, setiap tahunnya selalu terjadi KLB di beberapa provinsi, yang terbesar terjadi tahun 1998 dan 2004 dengan jumlah penderita 79.480 orang dengan kematian sebanyak 800 orang lebih. Pada tahun-tahun berikutnya jumlah kasus terus naik tapi jumlah kematian turun secara bermakna dibandingkan tahun 2004. Misalnya jumlah kasus tahun 2008 sebanyak 137.469 orang dengan kematian 1.187 orang atau case fatality rate (CFR) 0,86% serta kasus tahun 2009 sebanyak 154.855 orang dengan kematian 1.384 orang atau CFR 0,89%. Penderita DBD yang tercatat selama ini, tertinggi adalah pada kelompok umur <15 tahun (95%) dan mengalami pergerseran dengan adanya peningkatan proporsi penderita pada kelompok umur 15-44 tahun, sedangkan proporsi penderita DBD pada kelompok umur >45 tahun sangat rendah seperti yang terjadi di Jawa Timur berkisar 3,64%.
3.1 Tinjauan Umum Tentang Surveilans Dbd
A. Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas
Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas meliputi kegiatan pengumpulan dan pencatatan data tersangka DBD dan penderita DD, DBD,SSD; pengolahan dan penyajian data penderita DBD untuk pemantauan KLB; KD/RS-DBD untuk pelaporan tersangka DBD, penderita DD, DBD, SSD dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan; laporan KLB (W1); laporan mingguan KLB (W2-DBD); laporan bulanan kasus/kematian DBD dan program pemberantasan (K-DBD); data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD (DP-DBD), penentuan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan, distribusi kasus DBD per RW/dusun, penentuan musim penularan dan kecenderungan DBD.
B. Pengumpulan dan pencatatan data.
1. Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD. Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima puskesmas dapat berasal dari rumah sakit atau dinas kesehatan kabupaten/kota, puskesmas sendiri atau puskesmas lain (cross notification) dan puskesmas pembantu, unit pelayanan kesehatan lain (balai pengobatan, poliklinik, dokter praktek swasta, dan lain – lain), dan hasil penyelidikan epidemiologi (kasus tambahan jika sudah ada konfirmasi dari rumah sakit / unit pelayanan kesehatan lainnya).
2. Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD menggunakan ‘Buku catatan harian penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.
C. Pengolahan dan Penyajian data.
Data dalam ‘Buku catatan harian penderita DBD’ diolah dan disajikan dalam bentuk :
1. Pemantauan situasi DD, DBD, SSD mingguan menurut desa/kelurahan
2. Penyampaian laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD selambat – lambatnya dalam 24 jam setelah diagnosis ditegakkan menggunakan formulir KD/RS-DBD.
3. Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan perbulan.Laporan mingguan (W2-DBD) :
a. Jumlahkan penderita DBD dan SSD setiap minggu menurut desa / kelurahan
b. Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten / kota dengan formulir W2-DBD
4. Laporan bulanan
a. Jumlahkan penderita / kematian DB, DBD, SSD termasuk data beberapa kegiatan pokok pemberantasan / penanggulangannya setiap bulan.
b. Laporkan ke dinas kesehatan kabupaten / kota dengan formulir K-DBD.
5. Penentuan stratifikasi desa/kelurahan DBD
Cara menentukan stratifikasi (endemisitas) desa/kelurahan
House Index (HI) = Jumlah rumah/bangunan yang ditemukan jentik X 100%
Jumlah rumah/bangunan yang diperiksa
1. Buatlah tabel desa/kelurahan dengan menjumlahkan penderita DBD dan SSD dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
2. Tentukan stratifikasi masing – masing desa/kelurahan menurutkriteria stratifikasi desa/kelurahan
3. Stratifikasi desa tersebut disajikan dalam bentuk peta
6. Mengetahui distribusi penderita DBD per RW/dusun, dibuat pertahun dengan cara menjumlahkan penderita DBD dan SSD per RW/dusun.
7. Penentuan musim penularan DBD.
Jumlahkan penderita DBD dan SSD per bulan selama 5 tahun terakhir dan disajikan dalam bentuk tabel dan selanjutnya disajikan dalam bentuk grafik.
8. Mengetahui kecenderungan situasi penyakit, untuk mengetahui apakah situasi penyakit DBD di wilayahPuskesmas tetap, naik atau turun.
D. Surveilans Epidemiologis Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Dinas Kesehatan Kabupaten
1. Pencatatan Data
Sumber data :
a. Laporan KD/RS-DBD dari RS (pemerintah atau swasta)
b. Laporan data dasar personal DBD dari puskesmas (DP-DBD)
c. Laporan rutin bulanan (K-DBD) dari Puskesmas
d. Laporan W1 dan W2-DBD
e. Laporan hasil surveilans aktif oleh dinas kesehatan kabupaten/kota ke unit pelayanan kesehatan
f. Cross Notification dari kabupaten/kota lain.
2. Pencatatan data
a. Untuk pencatatan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD, misalnya menggunakan ‘Buku catatan penderita DBD’ yang memuat catatan (kolom) sekurang – kurangnya seperti pada form DP-DBD ditambah catatan (kolom) tersangka DBD.
b. Perlu kecermatan terhadap kemungkinan pencatatan yang berulang untuk pasien yang sama, misalnya antara tersangka DBD dan penderita DBD selama proses perawatan dan antara penderita DBD yang dilaporkan RS dengan yang dilaporkan oleh puskesmas, sehingga perlu penyesuaian data.
3. Pengolahan dan Penyajian Data
Dari data yang ada pada buku catatan penderita DD, DBD dan SSD dapat dilakukan penyajian data sebagai berikut :
a. Pemantauan situasi DD, DBD, SSD mingguan menurut kecamatan
b. Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SSD menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
c. Laporan mingguan (W2-DBD)
d. Laporan bulanan, jumlahkan dan laporkan penderita / kematian DD, DBD, SSD termasuk beberapa kegiatan pokok pemberantasan / penanggulangannya setiap bulan.
e. Penentuan stratifikasi kecamatan DBD
f. Mengetahui distribusi penderita DBD per desa / kelurahan
g. Penentuan musim penularan
h. Mengetahui kecenderungan situasi DBD, untuk mengetahui apakah situasi penyakit DBD di wilayah kabupaten / kota tetap, naik atau turun.
i. Mengetahui jumlah penderita DD, DBD dan SSD per tahun
j. Mengetahui distribusi penderita dan kematian DBD menurut tahun, kelompok umur dan jenis kelamin
BAB III
METODE SURVEILANS
3.1 Jenis Surveilans
Jenis surveilans yang diterapakan di Puskesmas Lau Kecmatan Lau Kabupaten Maros yaitu surveilans rutin terpadu penyakit yakni penyelenggaraan surveilans epidemiologi terhadap beberapa kejadian, permasalahn dan atau faktor resiko dan khusus penyakit DBD dan menggunakan surveilans terpadu penyakit yakni suatu bentuk laporan surveilans pengamatan kasus baru penyakit menular dalam satuan waktu bulanan.
3.2 Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan dan pencatatan dilakukan setiap hari, bila ada laporan tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD.Data tersangka DBD dan penderita DD, DBD, SSD yang diterima Puskesmas dapat berasal dari toga/toma, bidan desa, poliklinikPuskesmas, dan kader yang terdapat di setiap lingkungan dimana dalam satu lingkungan terdapat maksimal lima kader yang ditempatkan oleh petugas surveilans, dan silakukan pelaporan ke Dinkes Kab. Maros sebelum tanggal 5 setiap bulannya.
3.3 Jumlah Populasi Dan Sampel
A. Populasi
Jumlah kasus DBD di Puskesmas Lau kecamatan Lau Kabupaten Maros bulan januari sampai desember tahun 2014 terdapat 30 orang dan 2 diantaranya berada diluar daerah.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 HASIL
1. Kasus Penyakit Dbd Berdasarkan Umur
Tabel 4.1: Distribusi Kasus Penyakit DBD Berdasakan Umur di Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014
Kelompok Umur Frekuensi Persentase
< 1 0 0
1-14 24 80,0%
15-53 6 20,0%
>54 0 0
Jumlah 30 100
Sumber Data: Puskesmas Lau Tahun 2014
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD berdasarkan umur jumlah penderita DBD tertinggi pada kelompok umur 1-14 tahun sebanyak 80% sedangkan pada kelompok umur < 1 dan >54 tahun tidak ada penderita DBD.
2. Kasus Penyakit Dbd Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.2: Distribusi Kasus Penyakit DBD Berdasakan Jenis Kelamin di Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014
JENIS KELAMIN FREKUENSI PERSENTASE
PEREMPUAN 13 43,3
LAKI-LAKI 17 56,7
Jumlah 30 100
Sumber Data: Puskesmas Lau Tahun 2014
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD berdasarkan Jenis kelamin laki-laki sebanyak 56,7% sedangkan jenis kelamin perempuan sebanyak 43,3%.
3. Kasus Penyakit Dbd Bedasarkan Lingkungan
Tabel 4.3: Distribusi Kasus Penyakit DBD Berdasakan Lingkungan di Puskesmas Lau Kecamatan Lau Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2014
NAMA LINGKUNGAN FREKUENSI PERSENTASE
Di luar daerah 2 6,6
Allepolea 9 30,0
bonto marranu 2 6,7
maccini baji 11 36,7
Marannu 5 16,7
Soreang 1 3,3
Jumlah 30 100
Sumber Data: Puskesmas Lau Tahun 2014
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD berdasarkan lingkungan jumlah kasus tertinggi terdapat pada lingkungan Maccini baji sebanyak 36,7% sedangkan terendah di lingkungan soreang sebanyak 3,3%.
4.2 PEMBAHASAN
Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah penderita Demam Berdarah Dengue (DBD) di Indonesia pada bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 13.219 orang penderita DBD dengan jumlah kematian 137 orang. Proporsi penderita terbanyak yang mengalami DBD di Indonesia ada pada golongan anak-anak usia 5-14 tahun, mencapai 42,72% dan yang kedua pada rentang usia 15-44 tahun, mencapai 34,49%.
Persebaran Kasus
Di Indonesia DBD telah menjadi masalah kesehatan masyarakat selama 41 tahun terakhir. Sejak tahun 1968 telah terjadi peningkatan persebaran jumlah provinsi dan kabupaten/kota yang endemis DBD, dari 2 provinsi dan 2 kota, menjadi 32 (97%) dan 382 (77%) kabupaten/kota pada tahun 2009. Provinsi Maluku, dari tahun 2002 sampai tahun 2009 tidak ada laporan kasus DBD. Selain itu terjadi juga peningkatan jumlah kasus DBD, pada tahun 1968 hanya 58 kasus menjadi 158.912 kasus pada tahun 2009.
Angka Kematian (AK)
Angka Kematian (AK)/Case Fatality Rate (CFR) pada tahun-tahun awal kasus DBD merebak di Indonesia sangat tinggi. Kemudian dari tahun ke tahun mulai menurun dari 41,4% pada tahun 1968 terus menurun sampai menjadi 0,89% pada tahun 2009 (Gambar 7). Meskipun AK menurun tetapi bila dilihat angka absolut kematian dalam lima tahun terakhir tetap meningkat.
Provinsi dengan AK tertinggi pada umumnya berbeda dengan provinsi dengan AI tertinggi. Hal ini berarti provinsi dengan AI tinggi belum tentu juga menjadi provinsi dengan AK tinggi. Pada Gambar dibawah ini terlihat semua provinsi dengan AK tertinggi adalah provinsi yang berada di luar pulau Jawa dan Bali sedangkan provinsi dengan AI tertinggi umumnya dari Pulau Jawa dan Bali. AK rendah di pulau Jawa dan Bali bila dibandingkan dengan di luar pulau Jawa ini kemungkinan karena pelayanan medis dan akses ke pelayanan kesehatan lebih baik, serta tingkat pengetahuan masyarakat tentang DBD di pulau Jawa dan Bali lebih tinggi. Oleh karena itu upaya promosi kesehatan dan peningkatan akses dan pelayanan medis perlu difokuskan pada daerah di luar pulau Jawa dan Bali.
1. Kasus penyakit DBD Bedasarkan Umur
Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kejadian DBD di suatu antara lain faktor penderita (host), tersangka vektor, kondisi lingkungan, tingkat pengetahuan, sikap, dan perilaku serta mobilitas penduduk, yang berbeda –beda untuk setiap daerah dan berubah – ubah dari waktu ke waktu (Paramita, dkk. 2010).
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD berdasarkan umur jumlah penderita DBD tertinggi pada kelompok umur 1-14 tahun sebanyak 80% sedangkan pada kelompok umur < 1 dan >54 tahun tidak ada penderita DBD. Bila dibandingkan dengan kelompok umur > 45 tahun, umur <12 tahun berisiko 16,148 kali terkena DBD. Kondisi kerja lebih banyak duduk diam dalam gedung berisiko terkena DBD 4,930 kali dibandingkan di lapangan. Kondisi kerja berkeliling dalam gedung 15,719 kali berisiko terkena DBD daripada di lapangan.
Selain itu kelompok umur 1-14 tahun yang masih termasuk kategori anak-anak lebih rentang terkena DBD karena Daya tahan tubuh anak usia ini memang belum sekuat orang dewasa. Nyamuk Aedes aegypti, terutama betina dewasa, paling hobi menggigit pada pagi dan siang hari. (Nyamuk betina perlu darah untuk bertahan hidup dan berkembang biak.) Padahal, balita masih perlu tidur atau anak sekolah sedang belajar di kelas pada jam-jam tersebut. Nyamuk DBD memang senang bersarang di tempat lembab, gelap, dan bau pada manusia. Sedangkan kelompok umur lain yang lebih tua, misalnya kelompok umur di atas 18 tahun, yang mungkin sudah tidak bersekolah tetapi mungkin sudah bekerja, pendidikannya dapat bervariasi. Ada yang memiliki pendidikan tinggi karena sudah menyelesaikan semua tingkat pendidikan, tapi ada juga yang memiliki pendidikan rendah karena tidak tamat sekolah atau bahkan tidak bersekolah. Sedangkan pekerjaan dan kondisi kerja, meskipun keduanya berkaitan satu sama lain, tetapi tidak memiliki hubungan yang sama dengan kejadian DBD. Pekerjaan sangat bervariasi, sedangkan kondisi kerja memiliki klasifikasi yang lebih sedikit dan lebih jelas. Beberapa pekerjaan yang berbeda mungkin memiliki kondisi kerja yang sama, misalnya ibu rumah tangga, pegawai kantor, penjaga toko dan pelajar.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan pada responden yang dijadikan sebagai sampel adalah orang tua yang 2 anaknya pernah mengalami DBD, penyakit DBD sudah terulang yang kedua kalinya sebelumnya terjadi 4 tahun yang lalu namun yang ke 2 terjadi pada tahun 2014, dimana setelah anak yang tertuanya sembuh dari DBD 3 hari kemudian saudaranya yang mengalami DBD.
2. Kasus Penyakit DBD Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu aspek yang dapat diperhitungkan terhadap kejadian suatu penyakit. Terdapat beberapa jenis penyakit yang hanya diderita oleh satu jenis kelamin saja, hal ini disebabkan karena paparan terhadap agent dari setiap jenis kelamin berbeda sehingga jenis kelamin sangat mempengaruhi penyebaran suatu masalah kesehatan. Meskipun demikian secara teoritis maupun kenyataan dilapangan bahwa jenis kelamin tertentu tidak identik dengan terserangnya penyakit tertentu karena hal tersebut erat kaitannya dengan pebedaan derajat kekebalan yang dipengaruhi oleh variasi keterpaparan dengan agent.
Adanya kecenderungan pada satu jenis kelamin terhadap timbulnya satu penyakit biasanya berhubungan dengan terjadinya kontak oleh individu atau terdapatnya faktor determinan penyebab penyakit yang lebih cenderung pada jenis kelamin tersebut. Salah satu jenis penyakit yang kedua jenis kealamin dapat turut adil terhadap kontaknya vektor adalah malaria dimana baik perempuan maupun laki-laki juga dapat mengalami penyakit ini namun keadaan tertentu akan menunjukkan lebih dominan pada jenis kelamin tertentu. Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD berdasarkan Jenis kelamin laki-laki sebanyak 56,7% sedangkan jenis kelamin perempuan sebanyak 43,3%. Dengan demikian jumlah kejadian DBD lebih banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki dibandingkan jenikelamin perempuan.
Peningkatan jumlah penderita tersebut disebabkan karena kebiasaan masyarakat yang berada didalam rumah saat tidur tidak menggunakan kelambu atau menggunakan obat nyamuk, masyarakat juga kebanyakan melakukan aktifitasnya diluar rumah dan tingkat kesadaran masyarakan masih rendah sehingga menyebabkan besarnya keterpaparan terhadap gigitan nyamuk. Laporan ini sejalan dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Ratag B, dkk. 2013 yaitu jenis kelamin dengan persentase yang paling banyak adalah laki-laki 51,04% dan perempuan 48,96%.
3. Kasus Penyakit DBD Berdasarkan Lingkungan
Daerah tempat terjangkitnya penyakit DBD berdasarkan keadaan geografis antara lain seperti antara lain seperti daerah dataran, pegunungan, dan pesisir pantai. Hal ini erat hubunganya dengan kebiasaan vector mencari darah. Namun kemungkinan besar jumlah penderita jumlah lebih banyak terdapat didaerah dataran dan pesisir pantai. Hal ini di sebabkan oleh karena jumlah penduduk yang berada didaerah tersebut lebih banyak dari pada daerah pegunungan.
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa kasus penyakit DBD berdasarkan lingkungan jumlah kasus tertinggi terdapat pada lingkungan Maccini baji sebanyak 36,7% sedangkan terendah di lingkungan soreang sebanyak 3,3%. Maccini baji merupakan lingkungan yang ada di kecamatan lau dengan jumlah penderita DBD tertinggi.
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat berperan penting terhadap kejadian suatu penyakit terutama DBD, bebasnya lingkungan dari yang bisa memicu berkembangbiaknya nyamuk Aedes aegypti. Kebersihan lingkungan dari kaleng/ban bekas, tempurung, dan lain-lain juga merupakan faktor terbesar terjadinya DBD. Dan berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan di lokasi yang Maccini Ayo menunjukkan bahwa di lingkungan maccini ayo belum bebas dari sampah dan barang bekas seperti kaleng, dan berdasar wawancara yang dilakukan pada orang tua anak yang penyah menderita DBD mengatakan bahwa mereka membuang sampah di pasar dan jarak pasar ada di tengah pemukiman warga, tidak menggunakan kelambu, sedangkan observasi yang dilakukan di sekitar rumah banyak penampungan air yang tidak ada penutupnya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1. Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2‐7 hari.
2. Dasar-Dasar Hukum Surveilens DBD
a. UU Nomor 4 tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular
b. Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
c. PP Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Wabah Penyakit Menular
d. PP Nomor 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan pemerintah propinsi sebagai daerah otonom
e. Permenkes Nomor 560/Menkes/Per/VIII/1984 tentang jenis penyakit tertentu yang dapat menimbulkan wabah
f. Permenkes Nomor 949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang pedoman penyelenggaraan sistem kewaspadaa dini kejadian luar biasa (KLB)
g. Permenkes Nomor 356/Menkes/PER/IV/2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Kesehatan Pelabuhan
h. Kepmenkes Nomor 715/Menkes/SK/V/2003 tentang persyaratan Hygiene Sanitasi Jasa Boga
i. Kepmenkes Nomor 1116/Menkes/SK/VIII/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi Kesehatan
j. Kepmenkes Nomor/1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Surveilans Epidemiologi
k. Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular Terpadu
3. Bentuk-bentuk Surveilans
a. Terdapat lima jenis dari surveilans yaitu sebagai berikut :
Surveilans pasif, yaitu pengumpulan data yang diperoleh dari laporan bulanan sarana pelayanan di daerah.
b. Surveilans aktif, yaitu pengumpulan data yang dilakukan secara langsung untuk mempelajari penyakit tertentu dalam waktu yang relatif singkat dan dilakukan oleh petugas kesehatan secara teratur seminggu sekali atau dua minggu sekali untuk mencatat ada atau tidaknya kasus baru penyakit tertentu.
c. Surveilans menyeluruh, yaitu pengumpulan data yang dilakukan dalam batas waktu tertentu diberbagai bidang agar dapat mewakili populasi yang diteliti dalam sebuahnegara.
d. Surveilans sentinel, yaitu pengumpulan data yang dilakukan terbatas pada bidang-bidang tertentu. Survei ini tidak dapat digunakan dalam sebuah populasi karena dianggap tidak mewakili sebuah kelompok populasi, akan tetapi dapat digunakan untuk memonitor tren penyakit dan dalam mengumpulkan informasi yang lebih terperinci.
e. Surveilans berdasarkan kondisi masyarakat, sarana dan prasarana serta laboratorium kesehatan termasuk pelaporan yang dilakukan oleh masyarakat, fasilitas kesehatan dan laboratorium secara berturut-turut.
4. Upaya yang paling tepat untuk mencegah demam berdarah adalah membasmi jentik-jentiknya ini dengan cara sebagai berikut :
a. Bersihkan ( kuras ) tempat penyimpanan air (seperti bak mandi/WC, drum dll) seminggu sekali.
b. Tutuplah kembali tempayan rapat-rapat setelah mengambil airnya, agar nyamuk Demam berdarah tidak dapat masuk dan bertelur disitu.
c. Gantilah air di vas bunga dan pot tanaman air setiap hari
d. Kubur atau buanglah sampah pada tempatnya, plastik dan barang-barang bekas yang bisa digenangi air hujan
5.2 Saran
1. Setiap individu sebaiknya mengerti dan memahami bahaya dari penyakit DBD tersebut, sehingga setiap individu tersebut bisa lebih merasa khawatir dan mampu menjaga diri dan lingkungannya dari kemungkinan terserangnya demam berdarah.
2. Perlunya digalakkan Gerakan 3 M plus,tidak hanya bila terjadi wabah tetapi harusdijadikan gerakan nasional melalui pendekatan masyarakat.
3. Early Warning Outbreak Recognition System (EWORS) perlu dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna.
4. Segenap pihak yang terkait dapat bekerja sama untuk mencegah DBD
DAFTAR PUSTAKA
Alamsyah, dedi dkk. 2013. Pilar dasar ilmu kesehatan masyarakat. Yogyakarta. Nuha medika; hlm 103
Anonym. 2012. Musim Hujan HatiHati Demam Berdarah.http://rakyatsulsel.com/musim-hujan-hati-hati-demam-berdarah.html diakses pada tanggal 10 Januari 2015
Kementrian Kesehatan RI, 2010, “Buletin jendela Epidemiologi Topik Utama Demam Berdarah Dongue” , Vol.02, ISSN-2087-1546.
Depkes, RI. Pengertian DBD. Tahun 2005.
Husada. 2013. Pengantar Kesehatan Makassar.http://diannaputri.blogspot.com/p/blog-page_2.html. Di akses pada tanggal 11 Januari 2014.
Masriadi. 2014. Epidemiologi penyakit menular. Jakarta. Rajagrafindo persada; hlm 109
Paramita, dkk. 2010. Faktor Risiko Demam Berdarah Dengue Di KecamatanWonosari Kabupaten Gunungkidul Provinsi DIY Tahun 2010. FKIK UNSOED.
Ratang, B, dkk. 2013. Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue Pada Pasien Anak Di Irina E Blu Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Jurnal Kesehatan.Halaman 3.
Rochadi, R Kintoko. 2014. Pengaruh Partisipasi Masyarakat terhadap Pencegahan Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Dinas Kesehatan Kota Binjai Tahun 2013.J. Kesehatan Masyarakat USU, hlm 1-2
0 Komentar