pada artikal kali ini kita akan me,bahas bagimana Pengertian, Penyebab, Indikator Kekurangan Vitamin A
1. Pengertian KVA
Kekurangan Vitamin A (KVA) adalah
penyakit yang disebabkan oleh kurangnya asupan vitamin A yang memadai. Hal ini
dapat menyebabkan rabun
senja, xeroftalmia dan
jika kekurangan berlangsung
parah dan berkepanjangan
akan mengakibatkan keratomalasia.
kekurangan
vitamin A meningkatkan resiko anak terhadap penyakit infeksi saluran pernafasan
dan diare, meningkatkan angka kematian karena campak, serta menyebabkan
keterlambatan pertumbuhan (Menurut
Siti Maryam, 2003 yamg dikutip dalam jurnal Pratiwi*, 2013)
2. Penyebab masalah KVA
Kurang
vitamin A bisa disebabkan oleh dua faktor, yaitu penyebab langsung dan tidak
langsung.
a. Penyebab langsung
Penyebab langsung
adalah konsumsi vitamin A dalam makanan sehari-hari tidak mencukupi kebutuhan
tubuh dalam jangka waktu lama. Kurangnya konsumsi vitamin A dalam makanan yang
diperlukan tubuh untuk mempertahankan keadaan gizi yang normal. Kekurangan vitamin
A ini umumnya terjadi sejak balita karena kurangnya sumber vitamin A. Kondisi
ini sering sekali lebih buruk bila disertai oleh kekurangan zat gizi dalam
makanan. Misalnya tidak cukup konsumsi lemak, dimana lemak berperan penting
dalam inefisiensi penyerapan zat gizi mikro termasuk vitamin A.
b. Penyebab tidak langsung
· Penyebab
infeksi dapat menyebabkan nafsu makan berkurang, percepatan dalam peningkatan
penggunaan vitamin A dalam tubuh dan konsekuensi persediaan zat gizi tidak
mencukupinya. Kondisi lain dihubungkan dengan kemisikinan, kondisi sosial
ekonomi yang belum berkembang, sanitasi serta pemeliharaan higiene perorangan
yang diasbsorpsikan dengan malnutrisi termasuk vitamin A.
· Proses
penyerapan makanan dalam tubuh karena infeksi cacing, diare.
· Adanya
penyakit ISPA, campak dan diare (Adriani, M, Wijatmadi,B, 2016).
3. Prevalensi dan indikator terjadinya KVA
·
Prevalensi
a. Survei nasional pada xeroftalmia I
tahun 1978 menunjukkan angka-angka xeroftalmia di Indonesia sebesar 1,34% atau
sekitar tiga kali lipat lebih tinggi dari ambang batas yang ditetapkan oleh WHO
(X16 < 0,5%).
b. Pada tahun 1992 survei nasional
pada xeroftalmia II dilaksanakan, prevalensi KVA mampu diturunkan secara
berarti dari 1,34% menjadi 0,33%. Namun secara subklinis, prevalensi KVA
terutama pada kadar serum retinol dalam darah (< 20 mcg/100 ml) pada balita
sebesar 50%, ini menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko tinggi untuk
terjadinya xeropthalmia dan Maluku 0,8% dan Sulawesi Utara sebesar 0,6% (Pratiwi*, 2013).
·
Indikator terjadinya
KVA
Penilaian
status vitamin A menggunakan dua indikator, yaitu indikator biologis dan dan
indikator ekologis.
1.
Indikator biologis : digunakan untuk menilai perbedaan tingkatan KVA
subklinis pada anak dengan usia 6-71 bulan.
a.
Serum retinol
Kadar retinol dalam serum berada
dalam kontrol sistem homeostatis dan cadangan dalam tubuh dan merefleksikan
ketkanretinol dalam serum sangat tinggi atau sangat rendah kadarnya. Jadi,
penggunaan kadar serum retinol paling baik digunakan untuk mendapatkan
informasi tentang vitamin A dalam populasi dan tentang respon terhadap program
intervensi. McLaren (2001) menyatakan, jika kadar serum retinol <0,35 µmol/l
berarti defisien, dan jika <0,70
mol/l
berarti rendah.
b. Cutt off point kadar serum vitamn A
Tabel diatas menginterpretasikan
kadar serum vitamin A yang dibagi dalam tiga kategori umur. Gangguan fungsi
termasuk gangguan adaptasi gelap, rabun senja dan lesi okuler.
c.
Serum retinol binding protein (RBP)
Beberapa
studi memperoleh hasil penelitian serum RBP mempunyai korelasi yang sangat
dekat dengan serum retinol. Teknik imunodifusi yang digunakan relatif lebih sederhana dan lebih
murah dibandingkan teknik HPLC (high
performance liquid chromatography) yang biasa digunakan untuk retinol.
2. indikator ekologi : erat kaitannya dengan indikator
biologis dalam menilai risiko terjadinya KVA dimasyarakat. (Adriani, M, Wijatmadi,B, 2014)
4. Cut off point, host (populasi
rentan), agent (determinan)
terdapat variasi cut-off
point yang lebar yang setara dengan serum retinol <20 μg/dL. Studi di
Indonesia19 pada anak umur 3-6 tahun dengan cut-off point <0,69
μmol/L (Se=75, Sp=63), sedangkan studi di Kepulauan Marshall20 pada anak umur
1-5 tahun dengan cut-off point <0,77 μmol/L (Se=96, Sp=88).
Penelitian pada ibu hamil di Malawi21 mendapatkan cut-off point 1,00 μmol/L
(Se=88, Sp=95) dan penelitian di Indonesia22 pada ibu menyusui mendapatkan cut-off
point <1,29 μmol/L (Se=72, Sp=70). Penelitian di Kenya23 pada wanita
umur 16-45 tahun menunjukkan koefiesien korelasi yang tinggi (r = 0,88) dengan cut-off
point <0,77 μmol/L (Se=91, Sp=94).
Walaupun
dengan nilai cut-off point dengan sebaran berbeda tetapi dengan nilai Se
dan Sp yang cukup tinggi menunjukkan hubungan yang erat antara serum retinol
dan RBP. Perbedaan cut-off point tersebut karena perbedaan tingkat
kejenuhan (saturasi) RBP. Ada dua jenis RBP yaitu holo-RBP dan apo-RBP.
Holo-RBP adalah RBP yang mengikat retinol sedangkan apo-RBP adalah RBP yang
tidak sedang mengikat retinol. Semakin tinggi holo-RBP semakin tinggi tingkat kejenuhan
RBP.9 Tingkat kejenuhan RBP ini bervariasi di setiap masyarakat sehingga cut-off
point dari beberapa penelitian tersebut juga berbeda (Adriani, M,
Wijatmadi,B, 2014).
·
Host pada KVA antara lain:
a. Kelompok umur yang
terutama mudah mengalami kekurangan vitamin A adalah kelompok bayi usia 6-11
bulan dan kelompok anak balita usia 12-59 bulan (1-5 tahun).
b. Anak dengan
Berat Badan Lahir Rendah (BB < 2,5 kg).
c. Anak yang
tidak mendapat ASI Eksklusif dan tidak diberi ASI sampai usia 2 tahun.
d. Anak yang tidak
mendapat MP-ASI yang cukup baik kualitas maupun kuantitas
e. Anak kurang
gizi atau dibawah garis merah (BGM) dalam KMS.
f. Anak yang
menderita penyakit infeksi (campak, diare, Tuberkulosis (TBC), Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA), pneumonia dan kecacingan.
g. Frekuensi
kunjungan ke posyandu, puskesmas/pelayanan kesehatan (untuk mendapatkan
kapsul vitamin A dan imunisasi). Defisiensi vitamin A primer disebabkan oleh
kekurangan vitamin tersebut, sedangkan defisiensi sekunder karena absorpsi dan
utilisasinya yang terhambat (Adriani, M,
Wijatmadi,B, 2016).
· Agent disebabkan oleh unsur nutrisi dimana
bahan makanan atau asupan yang tidak memenuhi standar gizi yang ditentukan(Adriani, M,
Wijatmadi,B, 2016).
5. Pencegahan dan penanggulangan KVA
Prinsip dasar untuk mencegah dan menanggulangi
masalah KVA adalah menyediakan vitamin A yang cukup untuk tubuh. Selain itu
perbaikan kesehatan secara umum turut pula memegang peranan.
Dalam upaya menyediakan vitamin A yang cukup
untuk tubuh, ditempuh kebijaksanan sebagai berikut:
a. Meningkatkan konsumsi sumber vitamin
A alami melalui penyuluhan
b. Menambahkan vitamin A pada bahan
makanan yang dimakan oleh golongan sasaran secara luas (fortifikasi)
c. Distribusi kapsul vitamin A dosis
tinggi secara berkala
Upaya meningkatkan konsumsi bahan makanan
sumber vitamin A melalui proses komunikasi-informasi-edukasi (KIE) merupakan
upaya yang paling aman dan langgeng. Namun disadari bahwa penyuluhan tidak akan
segera memberikan dampak nyata. Selain itu kegiatan fortifikasi dengan vitamin
A masih bersifat rintisan . Oleh sebab itu penanggulangan KVA saat ini masih
bertumpu pada pemberian kapsul vitamin A dosis tinggi (Depkes RI, 2000).
Pemberian
kapsul vitamin A terutama pada kasus gizi kurang pada balita yang juga disertai
gejala xerophtalmia. Xerophthalmia adalah kelainan mata akibat kekurangan
vitamin A, terutama pada balita dan sering ditemukan pada penderita gizi buruk
dan gizi kurang. Kelainan ini merupakan masalah kesehatan dengan program KIE,
fortifikasi dan distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi (Pratiwi*, 2013).
DAFTAR
PUSTAKA
Adriani,
M, Wijatmadi,B, 2016. Pengantar Gizi
Masyarakat. Jakarta. Kencana.
Adriani,
M, Wijatmadi,B, 2014. Gizi dan Kesehatan
Balita. Jakarta. Kencana.
Yunita.
2013. Kekurangan Vitamin A (KVA) dan Infeksi. THE INDONESIAN JOURNAL OF HEALTH SCIENCE. 3 (2). 207-209.
0 Komentar